About Me

Kemerlap Jakarta di Atas Fly Over

Sabtu, 18 Desember 2010
Dimalam yang dingin itu,
seusai pesta ulang taun teman kita, kamu berniat mengajakku ke suatu tempat.
"Kemana?" tanyaku saat kau ajak.
"Pokoknya ke tempat yang pemandangannya indah deh! Terlebih ini udah malem, makin indah.." jawabmu semangat.
Setelah pikir panjang, aku menyetujui ajakanmu itu.

Sepanjang jalan, aku terus melihat lampu penerangan yg seperti ikut berlari mengejar kecepatan motor yang kau kendarai.
Aku akui, memandang kemerlap cahaya memang indah, apalagi cahaya-cahaya itu terlihat bergerak sendiri, berkerjaran, berlari-lari, sungguh indah! Ditambah aku menikmatinya bersama mu, walau status hubungan kita patut dipertanyakan.

Malam minggu ini aku bersamamu, padahal pacarku dirumah mungkin terus mengkhawatirkan keberadaanku yang belum juga pulang kerumah. Tapi, entah mengapa untuk malam ini aku tidak memperdulikan pacarku itu... malah yang ku anggap pacar adalah kamu... Walau sebenarnya, kamu bukan siapa-siapaku.

Malam yang dingin ini cukup menyiksaku, aku kedinginan di tengah perjalanan menuju tempat itu.
lalu kau bertanya, "kamu kenapa?".
aku senang diperhatikan.
dan aku berusaha menjawabnya dengan jujur.
"dingin kak...".
dan aku terkejut saat kau bilang, "peluk aku, mungkin akan menghangatkanmu"
SUNGGUH AKU TERKEJUT!
Tapi, entah mengapa aku menuruti perkataanmu.

Akhirnya kita sampai di tempat yang kau maksud.
Hanya sebuah jalan fly over.
Tapi benar, pemandangan dari atas sini cukup menakjubkan!
Melihat lampu-lampu mobil yang hilir mudik, lampu-lampu penerangan sana-sini, kembang api, bintang, bulan dan seluruh keindahan yang tak bisa ku ungkapkan satu persatu.
Disini, aku bersamamu, hanya kamu dan aku. Di atas sini.

Kadang aku bingung, darimana kau mengetahui tempat-tempat relaksasi seperti ini?
Dan saat ku bertanya, kau hanya menjawabnya dengan jawaban terbodoh dan terkonyol.
"gak tau... Tiba-tiba tau aja...". sungguh bukan sebuah jawaban.
Aku hanya bisa tertawa... Melihat kekonyolanmu itu. Dan dengan kekonyolanmu, kau berhasil memikatku.

Saat aku memandang langit, tiba-tiba kau menjitakku.
"Sakit!" ucapku kesal, kau selalu menjitakku.
"Ngeliat langitnya biasa aja..." jawabmu tanpa dosa.
"Emangnya kenapa? Suka-suka dong..." balasku, aku tetap memandang langit yang penuh bintang dan kembang api.
Mendengar jawabanku, kau tertawa dan menjitakku. Lagi!! Aku benci itu.

Puas memandang semua yang ada, aku mengajakmu pulang, mengingat ini sudah larut malam, pukul sembilan malam.
"Pulang yuk..." pintaku.
"Males ah... Nanti aja..." ucapmu santai, dan mulai merangkulku, seperti tidak mau ada perpisahan.
Aku membiarkan kau merangkulku, karena aku merasa nyaman dan aman disampingmu.
Aku bersandar di pundakmu, lalu tanganmu mulai bergerak, dan mengelus kepalaku
"Aku ngantuk..." ucapku.
"Yaudah, kamu tidur aja... Nanti aku bangunin kalo udah sampe rumah...".
"Gimana caranya aku tidur? Aku gak bisa tidur sambil berdiri tau".
"Hmm... Yaudah deh, kita pulang aja... Sepanjang perjalanan, kamu boleh tidur.".
Dan aku mengangguk sambil tersenyum, akhirnya pulang juga.

Tanganku memelukmu erat, itu yang kau perintah. "Supaya gak jatoh kalo kamu tidur" ucapmu, entah alibi atau bukan.
Aku hanya bisa menurut karena rasa kantuk yang luar biasa ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
"katanya mau tidur?" tanyamu sambil menyetir.
"Hmm... Nanti aja deh..." jawabku jujur.
"Udah, kamu tidur aja, mata udah ngantuk tuh... Gak baik tidur malem-malem kalo masih kecil...".
"Kalo aku masih kecil, berarti kamu juga masih kecil dong..." ucapku iseng.
"Kalo aku beda, aku udah gede... bukan anak-anak lagi..." balasmu tak mau kalah.
"Kita kan cuma beda setaun".
"Setaun pun cukup berarti... Taun baruan mau kesitu lagi gak?".
"Mauuuu..." ucapku senang.

Lama kelamaan aku pun tertidur, dalam pelukanmu, perjalanan menuju pulang kerumah.
Dan saat aku membuka mata, aku mendapati diriku tengah berada di pom bensin. Aku pun memasang wajah bodoh yang bingung.
"Hehehe... Sori, bensinnya abis, turun sebentar ya..." ucapmu, mengganggu tidur pulasku!
"Hmm....". Aku turun, dan berjalan agak jauh dari posisi pengisian bensin, aku tak tahan bau menyenatnya.
Tak lama kemudian, kau menghampiri ku.
"Muka sedih amat tuh... Ciee, yang tidur pules..." ucapmu meledekku.
"Aah,, bodo! Ngantuk nih..." balasku kesal.
Dia tertawa, dan kami mulai melanjutkan perjalanan. Hingga sampai dirumah.

"Makasih ya..." ucapku masih dengan mata mengantuk.
"Harusnya aku yang makasih... Udah sana masuk rumah... Tidur! Mata udah gak bisa melek tuh..."
"Iya... Daaaahh...".
Dan kau pergi, aku tak beranjak dari tempat itu sampai kau menghilang dari penglihatanku.
Terima kasih atas keindahan Jakarta dimalam hari yang kau tunjukkan wahai manusia konyol. Pengalaman ini sungguh tak akan ku lupakan sampai kapanpun.

-TAMAT-

Hujan dan kekonyolan celana biru

Minggu, 12 Desember 2010
sejak dia menyapaku,
dengan celana birunya yang konyol...
dan potongan rambutnya yang terlihat lucu.
dan dengan semua itu, aku mulai mengenalnya.
lama mengenalnya, aku mulai merasakan hal aneh, perasaan yang seharusnya tidak boleh ku rasakan karena saat itu aku sudah memiliki pasangan.

aku ingat peristiwa hujan... :)
ditengah hujan beserta angin,
kita mampir kesebuah rumah, rumah nenekku.
kau masuk dengan wajah konyol dan basah kuyup... begitu juga aku.. :P
lalu kau berganti pakaian... hanya baju! dan masih dengan celana birumu yang basah... :P
kau basah... aku kering... :P
aku membuatkan mu secangkir teh manis hangat... namun kau meledekku, tak percaya aku yang membuatnya.
tapi akhirnya kau minum juga sampai habis... hahaha... dasar! :P
"air putih dong" ucap mu dengan wajah melas... aku tertawa.

satu lagi yang berkesan dalam hujan waktu itu.
tingkah konyol yang kita lakukan di ruang tamu... :P
kau mengirimiku pesan. padahal jarak kita tak sampai satu meter... :P
yang membuatku tertawa adalah isinya... bukan kekonyolan ini.
untaian kata-kata yang sungguh membuatku merona :D

tapi kau BODOH!
untaian kata itu kau kirimkan disaat yang salah!

SALAH BESAR!
aku tak menjawabnya.

mungkin kau kesal dan kau berjalan menuju pintu.
"hujannya berhenti! pulang ah..." ucapmu saat melihat langit.
aku merasa agak sedih. Pulang berarti berpisah...
dan kekonyolan ini hanya sampai sini. tapi tak lucu juga bila aku menahanmu disini...
kau hanya cowok basah dengan celana biru konyol itu.
kasihan juga... pasti kau kedinginan dan ingin segera mengenakan pakaian kering.

dan pulang lah kau.
aku terus memandangimu sampai kau tak terlihat lagi,
menjauh dari rumah.
Bye... hati-hati ya celana biru konyol.

-TAMAT-

Mencintai Angin Pantai

Sabtu, 30 Oktober 2010
Aku berlari tanpa tujuan, hatiku galau tak menentu, ingin rasanya aku tidak percaya atas apa yang baru saja kulihat. Kenyataan bahwa sahabatku bermain api dengan orang yang amat ku cintai sungguh membuatku terpukul, terlebih saat kulihat mereka berciuman tepat didepanku! Tepat didepan kedua mataku! Aku berlari dan terus berlari, berharap diantara mereka ada yang mengejarku dan berusaha menjelaskan semua, tapi harapan itu sungguh semu. Satu pun diantara mereka tidak ada yang perduli dan membiarkan aku terus berlari dengan semua beban kegalauan ini dihati. Dan sekarang aku jatuh berlutut, tumit kaki dan telapak tanganku terhempas diantara pasir-pasir pantai, kedua kaki ini sudah tidak kuat lagi melanjutkan pelarian kegalauan ini.

Kini aku tertunduk dan mulai menangis, rasa ikhlas mengiringi perjalanan butir-butir air mata mulai dari kelopak mataku, mengalir halus dipipiku, hingga jatuh dan bercampur dengan butir-butir pasir putih di pantai selatan Pulau Jawa ini. Ditengah derasnya air mataku, samar-samar kulihat sebuah uluran tangan dihadapan wajahku. Rasa terkejut dan keingin-tauan ku memberikan energi kepada punggung tangan untuk menyeka air mataku. Ya! Benar! Sebuah uluran tangan dengan ikhlas ingin membantuku bangkit dari keterpurukkanku. Kuraih uluran tangan ikhlas itu dan aku berusaha bangkit walau masih dengan wajah yang tertunduk malu.

“Berjanjilah padaku, berhenti menangis dan jangan lagi menangis! Air mata seorang wanita cantik sepertimu tak pantas membasahi pipimu!” ucap sang pemilik uluran tangan itu.

Mataku tak berhenti menatapnya, kata-katanya mampu membuatku kembali berdiri tegak dan merasa dapat dengan mudah melupakan peristiwa penyebab kegalauanku tadi. Hmm, ini kah malaikat yang Tuhan kirimkan untukku? Seorang pemilik uluran tangan yang dengan ikhlas ingin membantuku bangkit dari semua kegalauan hati ku? Oh Tuhan, kalimat tasa syukur seakan tak henti-hentinya terucap atas anugerah-Mu ini.

Mau berjanji padaku?” tanya cowok itu yang membuat lamunanku berlari berhamburan.

“Hmm, iya aku janji… Thanks ya…” jawabku dengan senyum. Entah mengapa aku sangat percaya dengan cowok yang baru beberapa menit lalu kukenal. Dia bagai angin yang dengan cepat merasuki hatiku dengan tiupan keikhlasannya.

“Ya, sama-sama… Hmm, maaf, boleh aku tau nama kamu?” tanya cowok itu sambil mengulurkan tangannya.

“Kamu bisa memanggilku Dinda…” jawabku.

“Wah, nama yang indah… Aku Angin…” balas cowok itu.

“Angin?” tanyaku, karena nama itu memang terdengar cukup janggal oleh sepasang telingaku.

"Yaaa, memang itu nama ku! Mungkin memang agak terdengar aneh, tapi itu lah pemberian dari orang tua ku walau sesungguhnya aku tak pernah mengenal mereka…” jawab cowok itu, matanya jauh menerawang ke arah matahari yang mulai tenggelam ditelan ribuan juta liter air.

Aku terdiam. Sesungguhnya banyak tanya yang berputar-putar dalam otakku, sayangnya aku kehabisan kata-kata sopan untuk mengutarakan semua tanya tersebut. Namun, sesosok manusia yang ada di hadapanku sepertinya mampu membaca pikiranku, dia mengucapkan apa yang sesungguhnya ingin kutanyakan.

“Tak usah heran, aku besar di tepi pantai ini. Aku diasuh oleh seorang wanita tua hebat penjual minuman ringan hingga aku berumur 15 tahun. Sayangnya, Tuhan tidak mengizinkanku membalas semua kasih sayangnya dengan merawat wanita tua itu diusia senjanya…” ucap cowok itu.

“Apa yang terjadi padanya?” rasa ingin tau ku berkobar dengan lepas. Kisah cowok yang satu ini menarik perhatianku sehingga bisa sejenak melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

“Tuhan memanggilnya lewat sesuatu yang amat hebat… Wanita tua itu meninggal karena menyelamatkan seorang anak perempuan manis yang hampir tertabrak mobil… Sungguh mulia hatinya…” jawab cowok itu.

Hasilnya aku kembali terdiam, mendengar penjelasan cowok ini, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa dia dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

“Ayo lah Dinda… Jangan hanyut terbawa ombak kisah hidupku…” ledek Angin.

“Hahaha… Mau gimana lagi? Ceritamu cukup membuat daya imajinasiku bekerja, membayangkan bagaimana sosok wanita tua hebat yang mengasuhmu selama ini…”.

“Kamu tidak akan mampu membayangkannya… Karena dia adalah air yang suci…” jawab Angin.

Kosa kata Angin membuatku kembali berpikir, sejak awal bertemu dia selalu melontarkan kata-kata yang sopan, lembut dan mampu merasuki jiwa bagaikan sastrawan yang ahli.

“Yaah, terserah lah…”.

“Hmm… Dinda, matahari sudah mulai tenggelam, apa kamu tidak ingin pulang dan istirahat? Aku tau hari ini adalah hari yang berat untukkmu…” ucapnya.

Glegear…! Kenapa cowok ini bisa tau semuanya? Ya, aku akui hari ini memang hari terberat yang pernah ku rasakan. Tapi, kenapa dia bisa tau? Padahal aku belum cerita sedikitpun padanya? Siapa dia? Apa dia benar-benar malaikat kiriman Tuhan? Ah, tidak mungkin! Logikaku tidak bisa menerima opini tersebut.

 ***

Cahaya sang surya mulai melompat-lompat dengan ceria melewati jendela kamar tempatku menginap. Berkali-kali kutarik kembali selimutku dan berusaha meneruskan tidurku, namun rasa kantukku kalah oleh keceriaan mentari pagi ini. Kuputuskan untuk bangun dan mulai beranjak menujur kamar mandi untuk menyapa butir-butir air yang tergenang disana.

“Hmmm….”

Kubuka jendela kamar tempatku menginap, ku sapa semua yang kulihat dengan senyumku yang riang. Kuarahkan pandanganku keseluruh tempat yang bisa dijangkau. Dan uppzz… Nampak seorang pria yang melambai-lambaikan tangannya kearah ku. Angin! Ya, itu Angin! Hmm, apa dia menginginkanku menghampirinya? Baiklah, akan kupenuhi itu dengan senang hati.


“Pagi Dinda…” sapa Angin dengan senyum manisnya.

“Pagi juga Angin… Waah, rajinnya sudah absent dihadapanku pagi-pagi… Hehehe…” balasku dengan ceria.

“Hahaha…. Tidak juga ah… Ehm, Din, pasti kamu belum sarapan… Yuk, sarapan dulu, aku udah menyiapkan semua untuk kamu…” kata Angin sambil mengaih tanganku dan menggenggamnya.

Angin mengajakku kesebuah tempat yang cukup indah untuk sarapan dan dengan ringan kaki ku mengikuti langkahnya. Kami sarapan bersama disana, sarapan yang terasa hangat, ceria dan santai. Sungguh dia bagai malaikat bagi diriku yang masih terluka ini.Kadang kami tertawa bersama sambil melahap makanan karena mendengar cerita-cerita lucu dari bibir Angin. Kadang juga dia mampu membuatku simpati atas kisah hidupnya yang cukup menyentuh hati. Oh tidak! Dia pintar memainkan emosiku, dengan mudah dia membuatku tertawa, merasa takut sampai membuat air mataku menetes. Dia sungguh bagai angin.

“Din, besok kamu mau pulang ke Jakarta ya?” tanya Angin.

Sejenak aku terdiam, niat untuk meneguk segelas teh hangat yang sudah ada di hadapanku sirna sudah. Pertanyaan sederhana kembali muncul dalam benakku. Kenapa dia bisa tau? Padahal aku belum memberi tau nya.

“Kok kamu bisa tau?” tanyaku penasaran.

“Ya, tau…” jawabnya degan singkat, sungguh tidak meloloskan rasa penasaranku. “Karena besok kamu pulang, tolong izinkan aku menemani harimu khusus hari ini…”.

Bibirku tersenyum mendengar ucapan cowok itu, diriku merasa begitu berarti untuknya, aku merasa begitu diperhatikan dan dimanjakan oleh Angin, cowok yang ku kenal belum ada 24 jam.

“Apa kamu mengizinkan? Hmm, tapi kalo memang hari ini kamu sibuk atau sedang ingin sendiri, aku tidak keberatan kok… Tapi aku bisa jamin, aku akan selalu ada disaat kamu butuh…” ucap Angin.

“Hahaha… Santai aja Ngin, hari ini aku gak sibuk kok!” jawabku dengan senyum bahagia.

Ya! Aku bahagia. Di tengah kegalauan hatiku yang hancur, aku bertemu dengan sesosok malaikat! Dia Angin, cowok yang membantuku bangkit dari keterpurukkanku, dia yang memaksaku berjanji agar tidak lagi menangis, dia… Dia yang kini ada dihatiku.

Tak sengaja pandanganku melihat sesuatu yang tidak enak dilihat dipagi hari. Dua anak manusia yang awalnya menyeretku berlibur ke tempat ini, tertawa bersamaku, memasang wajah tanpa dosa di hadapanku, saling berlomba meyakinkanku kalau mereka-lah yang terbaik untukku. Namun kemarin, tepatnya sore itu, mereka pergi berdua, tanpa izin apapun dariku, sampai akhirnya ku temukan mereka tengah asyik berduaan disebuah café dekat pantai, dan berciuman! Hatiku meledak melihatnya! Manusia munafik itu menghancurkan segala anganku tentang persahabatan dan cinta yang sejati! Dan sekarang, aku lihat mereka kembali bermesraan tepat dua meja setelah mejaku dan Angin! Wajah mereka tampak ceria, tanpa dosa satu pun! Atau mungkin, mereka tak ingat bahwa mereka berdosa atas kegalauan hatiku.

Mata Angin yang jeli dengan mudah menangkap tatapan penuh dendamku. Dia pun ikut menatap penghuni meja nomor 3 yang tak jauh dari meja kami. Entah mengapa dia malah tersenyum dan menatapku, tangannya mulai bergerak dan menggenggam kedua tanganku. Penuh dengan magic! Sentuhan kedua tanggannya mampu meredakan emosiku dengan segera, ditambah senyumannya yang membuatku tak memperdulihan dua manusia laknat disebrang sana.

“Tenang Dinda, mereka bukanlah orang baik untukkmu… Mereka tak pantas mengenalmu… Mereka juga tak layak mendapat kata-kata makianmu, jangan buang-buang tenaga untuk makhluk tak penting seperti mereka… Yakinlah suatu saat nanti, mereka akan mendapat karma atas semua yang kamu alami sekarang… Dan kamu akan mendapatkan cinta dan sahabat yang sesungguhnya…” ucap Angin dengan penuh kehalusan.

Ah, Angin… Dia selalu berhasil membuat hatiku sejuk. Entah dari senyumannya, perkataannya, atau perbuatannya. Dia sempurna, dan aku jatuh cinta padanya. Apakah Angin juga merasakan deburan ombak kasih sayang dihatinya seperti didalam hatiku? Entahlah… Hanya dia dan Tuhan yang tau.

***

Aku berdiri diatas sebuah batu karang besar bersama Angin. Cowok pemikat hatiku itu perlahan mulai meraih telapak tangan kecilku dan mulai menggenggamnya, hmm… terasa hangat! Tanpa sadar, tubuh mungilku bergerak menyandarkan diri di bahu Angin. Oh Tuhan, aku merasa sangan aman dan nyaman bersamanya. Seluruh perasaanku hanyut digulung deburan ombak pantai, romantika ini begitu intens! Aku merasa menjadi milik Angin untuk seketika! Dan memang sangat ku harapkan, Angin adalah pengganti Dewa, cowok yang mengkhianati kesucian cintaku dan lebih memilih Sella, sahabatku sendiri!

Pancaran sinar merah sang surya yang mulai kembali ke pelabuhannya seakan melukiskan merah merona-nya hati ini. Dengan bersama Angin disisiku, sunset itu lebih indah dari apa yang terlihat. Perlahan ku rasakan angin pantai yang berhembus menerpa tubuh kami berdua. Hmm… dingin rasanya… Tapi itu tidak lama, tanpa banyak basa-basi, Angin memelukku dengan dekapan erat yang sangat hangat. Samar-samar ku dengar suara Angin berpadu dengan desingan angin yang terasa dingin.

“Aku mencintaimu, Dinda…”

Dan aku balas, “Aku pun juga mencintaimu, Angin…”

Kemudian dia menatap wajahku dengan dekat, kedua tangan hangatnya memegangi kedua pipiku, Nampak jelas binar matanya yang penuh cinta dan keindahan, begitu meyakinkan dan aku sangat mempercayainya. Dalam hitungan detik, wajah kami berdua semakin dekat hingga batang hidungnya pun sudah mampu menyentuh hidungku. Angin siap menciumku, sengaja ku pejamkan mataku agar dia tidak ragu untuk lebih mendekat. Dan wow! Kini bibir kami saling menempel satu sama lain, itu membuatku lebih hangat daripada secangkir cokelat panas. Dengan mata tertutup, aku seperti bisa merasakan, tubuhku ringan tanpa gravitasi, kami melayang diudara mengikuti tarian angin pantai. Juga bisa merasakan tubuhku tenggelam ditengah lautan, menyatu dengan buih-buih air dan hanyut dalam deburan ombak. Ciuman ini luar biasa! Lebih intens di banding ciuman manapun di jagad raya. Namun aku merasa kehangatan itu pudar, sepertinya Angin sudah berhenti mendekapku dan kembali pada posisinya semula.

Semua keromantisan yang intens tadi mendadak berubah ketika mataku terbuka dan kini mulai memasuki kisah horror yang biasa bermunculan. Aku tak lagi melihat sosok Angin didekatku! Bahkan disekitarku! Kemana dia? Apa dia pergi? Tapi mengapa secepat itu dia menghilang tanpa jejak? Seluruh tanya itu terus berputar-putar dalam otakku tanpa ada satu pun orang yang sanggup menjawabnya.

Bulan mulai memancarkan cahayanya redupnya yang samar dibalik awan-awan gelap. Lampu-lampu pijar sepanjang jalan dengan setia menemani langkahku kembali ke hotel tempat ku menginap. Dalam setiap langkahku diantara keheningan malam, seluruh tanya tentang keberadaan Angin saat ini terus mengusik ketenanganku. Kemana perginya sosok cowok sempurna itu? Mengapa dia bisa menghilang sempurna tanpa meningalkan jejak satupun?

“Hoaah…”

Dengan lepas ku rebahkan tubuh lelah ini diatas kasur. Hari ini cukup menyenangkan, namun membingungkan juga. Senang karena seharian ini waktu ku habis bersama malaikat yang ku sayangi, namun juga bingung karena malaikat itu pergi tanpa pamit. Oooh Angin, dimana kamu sekarang? Kenapa pergi dengan tiba-tiba? Kenapa tidak mengabari aku sebelumnya?

“Aaaaah…”“Bodoooohh……! Kenapa aku gak sempet menanyakan nomor HP nya? Mungkin aku bisa menelponnya…!” sesalku. “Booodoooh… Boddoooh…”.

Diakhir perkataanku, tiba-tiba jendela kamarku terbuka dan angin masuk dengan kencang. Aku menjerit karena terkejut, kemudian mulai memberanikan diri untuk bangun dan menutup jendela itu. Ku langkahkan kaki ku dengan perlahan, masih ada rasa takut yang menyelimuti perasaanku.

“Angin!?” ucapku terkejut melihat malaikatku tengah bersandar di beranda kamarku.

“Hallo… Maaf tadi aku menghilang…” balasnya santai.

“Sejak kapan kamu disini? Bagaimana bisa kamu masuk kesini?” tanyaku yang masih terkejut.

“Hmm… Aku bisa ada dimana-mana… Dan bukan hal yang sulit untuk sampai dikamarmu ini…” jawab Angin.

“Kamu membuatku takut…”. Langkah kakiku melangkah mundur menjauhi sosok Angin yang kejelasannya belum jelas.

“Jangan takut, Dinda… Aku hanya angin… Angin yang telah jatuh cinta kepada anak manusia secantik kamu…” ucap Angin yang membuatku tambah bingung dan takut. Aku hanya menatapnya heran tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Aku adalah angin… Angin Pantai Selatan yang indah ini… Kemarin saat pertama aku melihatmu terjatuh menunduk di tepi pantai, aku merasa harus membantumu… Dan aku datang sebagai Angin…”.

“Berarti kamu bukan manusia?” tanyaku ngeri.

“Iya Dinda… Sekali lagi, aku hanyalah angin Pantai Selatan…” jawabnya. “Dan aku jatuh cinta pada seorang anak manusia… Yaitu kamu, Dinda…”.

“Tidak…! Tidak mungkin!” ucapku yang benar-benar takut sekarang, bagaimana mungkin aku telah jatuh cinta pada sesosok manusia jadi-jadian?

“Tidak usah takut Dinda… Aku tidak akan melukaimu, bahkan aku akan menjagamu, selalu menjagamu! Mendekatlah, izinkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya…” pintanya dengan lembut.

Langkah kakiku bergerak sendiri mendekati tubuh Angin. Tidak! Aku tidak bisa menahan langkah itu. Aku semakin mendekatinya dan dengan pasrah ku biarkan diriku memeluk Angin. Aku kembali hanyut dalam pelukan hangat itu. Ooh Angin, walau aku sedikit takut dan kecewa karena kebenaran sosoknya, entah mengapa aku tetap mencintainya dan menginginkannya mengisi ruang kosong dihatiku.Aku mulai menangis, entah bagaimana caranya air mata itu jatuh begitu saja walau sudah ku tahan sebisa mungkin. Angin yang menyadarinya langsung menyeka air mataku dan melontarkan sebuah pertanyaan.

“Kamu kenapa, Dinda?” tanya Angin khawatir.

Aku hanya bisa menggeleng, aku sendiri bingung kenapa aku menangis. Memang, ada perasaan kecewa yang mendalam lantaran Angin yang aku cintai tidak mungkin bisa ku miliki sampai kapan pun, aku juga sedih karena aku akan berpisah dengannya, dan yang lebih membuatku sedih adalah, kini aku telah hanyut dalam pelukan Angin yang penuh cinta.

“Dinda? Maaf jika kamu kecewa, tapi ini lah aku… Aku hanya sebuah angin… Kita memang tidak bisa saling memiliki, tapi kita masih bisa saling mengasihi, aku akan terus bersamamu sampai kapanpun karena aku adalah angin yang bebas kesana-kemari… Jangan sedih Dinda… Hapus air matamu… Tepati janji mu tempo lalu… Kamu pasti bisa Dinda… Karena kamu adalah wanita istimewa yang tegar!” ucap Angin, well dia memang selalu bisa membaca isi hati ku.

Aku menepati janji ku! Ku seka air mata ini sampai dia tidak tersisa lagi, aku mulai menebar senyum indah ku dan menatap wajah Angin yang penuh pesona, dia pun ikut tersenyum. Dan dia kembali memelukku, mendekapku dengan erat. Aku mencintai Angin… Angin pantai yang sungguh indah…

- T A M A T -

Tempat Yang Abadi

Senin, 09 Agustus 2010
Perlahan-lahan Intan mulai membuka matanya dan mendapati dirinya tengah terbaring diranjang UKS. Kepalanya masih terasa pusing. Samar-samar Intan melihat Feby dan Rehan yang duduk tak jauh dari ranjangnya.
“Eh, Tan… Udah sadar lo?” tanya Feby.
“Emang gue kenapa, sih? Kok ada disini?” tanya Intan memegangi kepalanya yang sakit.
“Tadi gak sengaja lo ketimpuk bola basket… Gue yang lempar, dan itu murni ketidak sengajaan! Maafin gue ya… Lo gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Rehan.
“Ooooh, jadi elo!? Pusing nih kepala gue! Kalo gue kena gegar otak, emang lo mau tanggung jawab!? Hah!?” ucap Intan, sifat judesnya keluar lagi.
“Maaf deh, Tan… Gue kan gak sengaja…” kata Rehan.
“Yaudah lah, Tan… Maafin aja… Dia juga tadi udah nolong lo… Gendong lo sampe UKS! Padahal badan lo kan berat banget…” kata Feby tanpa dosa.
“Emangnya badan gue seberat apa sih!? Gue langsing kok!” ucap Intan tanpa sadar bahwa tubuhnya jauh dari kata “langsing”.
“Aduuuh…. Intan… Intan… Yaudah lah, lo udah gak apa-apa, kan? Balik ke kelas yuk! Ada ulangan fisika, nih! Rugi kalo ikut ulangan susulan… Gak bisa nyontek!” ucap Feby.
“Yaudah… Yuk, balik ke kelas!” balas Intan yang langsung beranjak dari ranjang.
“Eh, Tan, Tunggu…!” ucap Rehan.
“Apa lagi?” tanya Intan.
“Lu maafin gue kan?” tanya Rehan.
“Iya deh! Kasian gue sama lo!” jawab Intan. Lalu ,Intan dan Feby perlahan menghilang dari pandangan Rehan.


Kantin sekolah terasa sesak saat jam istirahat. Namun mereka tak memperdulikannya demi mengisi perut mereka yan g kosong dan melepas dahaga. Usai mendapatkan apa yang Intan dan Feby inginkan dari kantin, mereka kembali menuju kelas X.2 yang tak lain kelas mereka.
Di koridor,
“Tan, sebenarnya ada untungnya juga lu ketimpuk bola tadi pagi!” ucap Feby
“Enak apanya? Sakit tau Feb!” bantah Intan
“Yee… liat sisi positivnya ding! Nih ya, pertama karena lo dan gue di UKS, kita bebas dari pelajaran ekonomi! Kedua, kebetulan banget gue belom ngerjain tugas! Ketiga, gue bebas gak memperhatiin muka kuno Pak Eko! Dan terakhir, kita beruntung mengenal Rehan! Dia cakep tau! Kakak kelas aja ngerebutin dia!” ucap Feby panjang lebar.
“Ha ha ha… Rehan? Yang tadi nimpuk gue itu? Ha ha ha… Dia pasti menang muka doang! Pasti di playboy! Sama aja kayak cowok lainnya!” kata Intan.
“Yee… belum tentu dong, Tan! Buktinya aja dia gak gampang dipengaruhi rayuan fanaticnya!” kata Intan gak mau kalah.
“Itu karena dia mau sok jual mahal, mau cari sensasi! Itu taktik lama bajingan” kata Intan yang tetap santai mengucapnya.
“Iiih… dasar cewek gak normal lu! Gak bisa ngeliat cowok ganteng selain Andi!” balas Feby kesal.
Untuk sejenak, Intan terdiam, ia teringat sesuatu. “Husst… Jangan sebut nama itu lagi! Kasihan, nanti dia gak nenang di alam sana …” ucap Intan dengan nada suara agak bergetar.
Feby merasa bersalah. Tidak seharusnya dia menyebut nama Andi di depan Intan, sahabatnya sendiri yang mungkin masih terpukul pasca meninggalnya Andi, cowok yang amat Intan sayangi, lima bulan lalu. “Maafin gue ya, Tan… Gue gak bermaksud …” pinta Feby.
“Hmm, santai aja kali Feb… Itu sebatas masa lalu gue …” kata Intan.


Terlihat sesosok tubuh cowok berdiri di depan pintu kelasnya, dan kebetulan, Intan dan Feby keluar kelas belakangan. Feby yang merasa tak asing dengan sesosok cowok itu pun menyapanya.
“Hai, Re… Ngapain di depan pintu kelas gue?” tanya Feby
“Gue mau ngajak kalian pulang bareng! Itung-itung sebagai permintaan maaf gue… kebetulan gue bawa mobil, jadi gue harap kalian jangan nolak, ya?” pinta Rehan
Tanpa banyak basa basi , Feby langsung menerima tawaran itu. Intan yang kalah cepat berorasi pun harus menerimanya dengan pasrah. Feby yang memang ada rasa terhadap Rehan, memanfaatkan moment ini sebagai pendekatan antara dirinya dan Rehan.
“Hei Re, makasih banyak nih, udah repot-repot nganterin kita pulang! Hehehe…” ucap Feby.
“Ih, apa apaan lu? Ini kan dia yang mau! Kenapa musti terima kasih segala? Lebay deh lo!” sahut Intan dengan tanpang jutek.
“Hahaha… Udah… Udah… Jangan berantem di mobil gue! Hehehe… Eh, rumah kalian di mana nih?” tanya Rehan dan tatapannya tertuju pada Intan yang asyik sendiri menatap jalan-jalan Jakarta yang penuh sesak.
“Rumah gue didaerah Kemang, Re…” jawab Feby penuh senyum.
“Oh… Kalo lo, Tan?” tanya Rehan.
“Sama…” jawab Intan tanpa merubah tatapannya.

Perlahan, Intan mulai menyadari beberapa yang terjadi pada akhir-akhir waktu ini. Dia sudah bisa melihat, bahwa Feby diam-diam menyukai Rehan. Tetapi di samping itu, dia juga merasakan perhatian yang lebih dari Rehan, mungkin Rehan memendam rasa padanya. Tapi Intan harap, itu hanya sebatas perasaannya.
Suatu hari, Feby datang kerumah Intan dengan wajah agak sayu. Intan sudah bisa menebak, pasti Feby sedang ada masalah.
“Tan gue sedih nih… Ternyata cowok yang gue suka, udah punya gebetan… Dan gebetannya itu elu, Tan! Huhuhu… Patah hati lagi nih gue!” curhat Feby.
“Gue…!? Hmm… Pasti Rehan!” balas Intan.
“Iya… Kok lu tau?” tanya Feby.
“Tau lah… Gue gitu loh! Hehehe…” jawab Intan cengengesan.
“Huhuhu… Kenapa sih, cowok yang gue suka pasti larinya ke elu!?” ucap Feby.
“Maaf Feb… Itu mah bukan salah gue! Hehehe… Tapi kalo lu emang suka sama Rehan, nanti gue bantu deh, Feb… Gak tega gue sama lu… Hehehe…” kata Intan.
“Bener ya, Tan!” ucap Feby semangat.
“Iya… Iya… Santai aja… Semua pasti beres sama gue…! Hahaha…” balas Intan penuh percaya diri.

Disamping itu, Rehan diam terpaku menatap selembar kertas berisi keterangan kesehatannya. Dia sangat ingin membantah semua huruf yang tertera dalam kertas itu. Tak percaya, tak terima dan tidak menyangka bahwa dia divonis menderita radang paru-paru akut. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pasti dia tidak bisa selamat, dia pasti mati! Dan hidupnya tidak lama lagi. Yang lebih hancur adalah hatinya, niat untuk menyatakan cinta pada Intan sirna sudah. Tak ada gunanya lagi berharap banyak.
Kini dia mulai menjaga jarak antara dirinya Intan dan Feby dengan tujuan diantara mereka tidak ada yang terluka jika dirinya tiba-tiba menghilang nanti. Dia sangat berharap, nanti dia dapat tertidur tenang dalam tidur abadinya.

Sebelum bell masuk sekolah berbunyi, Intan berusaha mencari Rehan disekitar sekolah dengan tujuan ingin mengutarakan maksudnya untuk mendekatkan Feby dengan Rehan. Dan akhirnya mereka bertemu ditangga sekolah. Intan melihat ekspresi yang murung, tak seperti biasa yang selalu cerah. Intan pun menegurnya.
“Rehan, lu kenapa?” tanya Intan penuh perhatian.
“Gak kenapa-napa, kok!” jawab Rehan yang mencoba menghindar namun dicegah Intan.
“Maaf ya, gue gak segampang itu di begoin! Gue tau lu ada masalah! Kalo lu merasa diri lu itu cowok beneran, gue tunggu di bangku taman samping sekolah jam istirahat pertama!” ucap Intan dengan nada agak membentak

Jam istirahat pertama, Intan benar-benar menunggu Rehan ditaman. Rehan pun datang dan menceritakan semua masalahnya walau dengan sedikit paksaan dari Intan. Sekarang Intan tau apa sebab Rehan berubah dan sekarang dia pun tau apa yang harus dilakukannya.
“Reh, emangnya lo piker segampang itu lo mati? Enggak lah… Dan lo juga bisa sembuh kali… Percaya gak?” tanya Intan bersemangat.
“Gak percaya…” jawab Rehan datar disertai gelengan kepala.
“Percaya dooong…” pinta Intan menyemangati Rehan.
“Yaudah, gue percaya deh… Emang gimana caranya? Ini tuh udah akut, Tan…” tanya Rehan yang nampak masih putus asa.
“Caranya, setiap hari abisin waktu lu bareng gue sama Feby! Dan lo wajib coba! Ini nyata looh…” jawab Intan.
“Ya udah… Nanti gue coba…” kata Rehan pasrah.

Setelah hari itu, Intan, Feby dan Rehan terlihat selalu bersama. Mereka seperti satu paket yang tidak perah bisa dipisahkan dengan cara apapun. Mulai dari tugas sekolah, kelompok belajar, dan lain sebangsanya mereka selalu kompak. Rehan sudah bagai pangeran kelantan yang ditemani dua permaisuri cantik disampingnya.
Hari berhanti hari, minggu pun terus berganti, tak terasa satu bulan telah terlewati. Sungguh waktu yang amat singkat bagi Intan, Feby dan Rehan. Mereka pun sekarang menjadi sangat dekan. Yaa… Keberuntungan tersendiri bagi Feby bisa dekat dengan sang pujaan hati, yang membuat hari-harinya penuh cinta dan kasih sayang. Begitu juga bagi Rehan yang bisa menghabiskan waktu bersama Intan sebagai penyemangat hidupnya.
“Re, coba deh lo periksa lagi ke dokter. Gue jamin hasilnya jauh lebih baik.” ucap Intan suatu hari.
Rehan menuruti perkataan Intan. Ditemanin kedua sahabatnya, hari itu juga dia datang ke rumah sakit yang dulu pernah dia datangi sebulan yang lalu. Hasil tes keluar dan hasilnya sangat memuaskan. Paru-paru Rehan bersih dan kini dia sehat. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya Rehan ucapkan kepada Tuhan dan kedua sahabatnya, Intan dan Feby.
“Cieeee… Yang udah sembuh… Traktir kita doong…! Hehehe…” ucap Feby penuh canda.
“Ide bagus tuh, Feb! Kebetulan gue laper nih… Kebetulan juga di depan ada tukang bakso tuh!” kata Intan sambil memegangi perutnya yang memang terasa lapar.
“Ya udah, ayo deh… Gue traktir makan bakso…” balas Rehan.

Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Selang satu minggu setelah Rehan di vonis sembuh, kejadian tragis terjadi diantara mareka. Sang sahabat tertabrak truk saat menyebrang jalan ketika pulang sekolah dan kejadian itu dilihat langsung oleh Rehan dan Feby. Bagaimana truk itu melaju cepat tanpa kendali, mendengar jeritan Intan untuk terakhir kali, melihat tubuh Intan terhempas penuh darah. Tragis! Dan itu amat sangat mengerikan.
“Jaga Feby ya, Re… Dia sangat menyayangi lo…! Dan kalian tetap sahabat gue sampai kapan pun…” ucap Intan sesaat sebelum detak jantungnya berhenti.
Rehan yang kala itu sedang menggenggamtangan Intan pun hanya bisa berteriak penuh sesal, sementara Feby tak hentinya menangis melihat kondisi sahabatnya yang sedemikian rupa. Hatinya terluka kehilangan sahabat yang amat disayanginya.
Kini Intan telah pergi, menyusul Andi, kekasihnya yang lebih dulu pergi meninggalkannya. Menuju tempat terindah yang abadi. Tak ada lagi Intan yang jutek, cerewet dan tak ada lagi tawa Intan disela-sela canda tawa mereka. Semua tak akan ada lagi…
Dia pergi, ketempat yang abadi, namun persahabatan dan seluruh perasaan ini akan tetap kekal abadi di alam sana. Tempat paling indah yang abadi.

Sahabat Dan Cinta

Jumat, 30 Juli 2010
Libur kenaikan kelas ini terasa hampa bagi Echa. Memang, hatinya sudah lega karena dia naik kelas dengan nilai yang lumayan dan berhasil masuk kelas IPA 1. Tapi, saat ini Echa lagi sendirian, selepas dari Aris pada tanggal 15 Mei yang lalu, Echa masih takut untuk pacaran karena trauma. Apa lagi cara putusnya sadis banget! Hari-hari liburannya hanya diisi dengan SMSan dengan Hadi dan Kalilla yang memang sedang dalam tahap pedekate, Echa lah yang membantu mereka.

Realita bahwa dua sahabatnya saling menyanyangi sebenernya bukan berita bahagia untuknya, jauh dilubuk hatinya, sebenarnya Echa menyukai Hadi. Sebelum libur kenaikan kelas, Echa sudah memberanikan jujur tentang perasaannya kepada Hadi dalam moment jujur-jujuran saat nge-sisha. Jujur yang dimaksud kali ini bukanlah nembak! Hanya jujur!

Saat Echa berkata,
“Di, sebenernya kan gue sempet naksir lu dulu! Waktu kita kelas X, pas marching band SMA kita pertama kali dibentuk…”.

Lalu, sebuah kalimat mengejutkan terlontar dari bibir Hadi,
“Hah!? Serius lu!? Pantesan, waktu gue pertama kali ngeliat lu, kaya’nya ini anak salting-salting gitu sama gue! He he he… Ternyata naksir gue toh…! Hmm, kalo boleh jujur juga, sebenernya sih gue juga sempet naksir sama lu! Soalnya lu beda sama cewe-cewe lain!”.

Saat itu hati Echa menyesal, kenapa ia tidak mengenal Hadi dari dulu. Tapi, biarlah, mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersatu karena kini Hadi hanya menginginkan Kalilla sebagai pengisi hatinya. Dan mereka berdua adalah sahabat Echa. Sudah seharusnya Echa mendukung hubungan mereka.


Pagi itu terasa bosan. Akhirnya Echa mengirim SMS kepada Hadi untuk sekedar menyeka rasa bosan yang ada dibenaknya..

“Hy Di… Lu gy ngap?”.
“W gi bingung nih, Cha!”.
“Bingung napa? Cerita dh ma w, nti w cba Bantu lu…”.
“W dah nembak Kalilla kmren! Tpi blm dijwb ma dia!”.
“Lu nembaknya pke media pa?”.
“Lwat SMS lah!”.
“Mw w tnyain k Kalilla?”.
“Blh jg tuh! Ntr jgn lpa ksih tw w! Ok?”.
“Iya bawel!”.

Akhirnya Echa mengirim SMS kepada Kalilla,
“Kal, w denger2 lu dah ditmbak Hadi ya?”.
“Ya… Tp gw tkut bgd Cha! Tkut kjadian gw ma Kevin en Aldy trulang lgi! Gw gak mw kya gt!”.
“Trulang gmn?”.
“Ya… Disaat gw dah syng ma mrka, mrka mlah ninggalin gw en nglupain gw gtu ja! Gw gak mw ky gtu lgi Cha!”.
“Lu tnang ja, Kal! W brani jamin Hadi gak bkal ky gtu! W dah lma knal ma dy!”.
“Hmm… Gw msi bingung, Cha!”,
“Ywdh, lu mkir2 ja dlu! Py, pzt’a lu gak akan kcwa jdian ma Hadi. Bnyk loh, cwe2 yg naksir dy, py te2p ja dy mlih lu! Lu bruntung tw!”.
“Ya ya ya… Gw tw Cha! Thanks ya!”.

Setelah merasa cukup mengambil informasi dari Kalilla, Echa segera SMS Hadi untuk laporan.
“Di, w dah tny Kalilla…”.
“Pa kta’na”.
“Kta’a, dy tkut msa-llu’a trulang!”.
“Msalalu’na yg mna?”.
“Wkty dy ma Kevin en Aldy…”.
“Mang’na mrka ngpain Kalila?”.
“Pas Kalilla dah bneran syng ma mrka, mrka mlah ninggalin dy en nglupain dy gtu ja…”.
“Tega amat!? W mah gak bkal kya gtu Cha! Lu tw khn, Cha?”.
“Ya… W tw! W jga dah blg gtu! Py Kalilla mci ragu…”.
“Sbnernya Kalilla ska ma w gak?”.
“Ska.. Dy cma tkut khlangan ja!”.
“Yaah… Bntuin w donk!”.
“Hmm… Gmn klo qt krmh’a ja? Klo ky gtu, w jamin lngsung djwb!”.
“Kesan’na maksa amat?”.
“Drpd lu menderita? Mw gak? Gak jg gpp!”.
“Iyy deh! Kpn?”.
“Bsk! Tgl 1 July! Gmn? Hari tu w bisa!”.
“Ok!”.
“Ktmuan dmn?”.
“Dpn gang rmh w ja!”.
“Ywdh, abis ashar w dtg!”.

Setelah mengirim SMS yang terakhir untuk Hadi, Echa meletakkan hapenya di meja dan mulai merenggangkan jari-jemarinya. Pegal rasanya SMSan sekian lama.


Menjelang sore, Echa membaca kembali semua SMS dari Hadi dan Kalilla karena lagi gak ada kerjaan. Bodohnya Echa, dia malah menawarkan diri mengantar Hadi ke rumah Kalilla untuk menjemput jawaban cinta Hadi! Berarti Echa akan menjadi saksi mereka! Oooh… Echa jadi gak bisa ngebayangin bagaimana jadinya besok. Apkah Echa menahan sakit hati? Ahh, apa saat itu Echa lagi dipengaruhi hipnotis, sampai-sampai dia gak sadar udah daftar mati.

Tapi sekali lagi Echa tanamkan, bahwa Hadi dan Kalilla adalah sahabat Echa! Dan Echa harus bersyukur Hadi menjadikannya sahabat terbaik yang dipercaya membantunya untuk jadian sama Kalilla.

“Hfuh… Oke! Gue akan bantu mereka! Kalau pun nantinya gue akan nangis ngeliat mereka bersatu, sebisa mungkin gue tahan air mata gue! Di rumah baru gue lepasin semuanya…!” batinnya.

Mungkin kali ini Echa belajar untuk memilih antara persahabatan dan cinta. Dan jalan persahabatan yang Echa pilih tidak akan membuatnya menyesal. Bahkan akan membuatnya bangga!

Di dunia ini banyak yang namanya mantan sahabat! Banyak perkenalan dengan unsur cinta, akan berakhir berantakan! Lain halnya dengan perkenalan dengan unsur teman yang hingga menjadi sahabat sejadi dan berakhir abadi.

Dan satu keyakinan lagi yang tidak akan membuat Echa menyesal memilih persahabatan. Yaitu bahwa dengan sahabat, kita bisa lebih terbuka dan bebas untuk curhat tanpa beban satu pun. Sahabat tidak akan saling menyakiti, malah akan saling memberi pelajaran yang punuh makna.


Keesokan harinya,
Malas rasanya bangun pagi kalau lagi liburan gini. Tapi, ini udah jam 9 pagi, kalau masih belum bangun, pasti akan ada makhluk yang akan ngejailin Echa yang lagi tidur. Sebelum keluar dari kamarnya, dia terduduk dikursi meja belajar sambil menatap kalender dan mendengus pasrah.

“Hhfuuh… Apa harus hari ini?” tanya Echa pada dirinya sendiri.

Bosan menatap kalender yang gak bisa ngejawab pertanyaannya, Echa keluar kamar, mulai meraih handuk, ddan masuk ke kamar mandi.

Setengah jam berlalu, Echa keluar kamar mandi dengan disambut ocehan menyebalkan dari adiknya yang sepertinya kebelet panggilan alam. He he he.

Echa menuju komputer dan mulai menekan tombol power di CPU. Sekian menit berlalu, kini layar monitor menampakkan tampilan user. Echa meng-klik iconnya dan mengetik id-nya lalu menekan tombol enter pada keyboard.

Dalam layar desktop, dia meng-klik sebuah folder bernama “Drama Cinta”, folder tersebut berisi judul-judul novel realita buatannya. Iseng, Echa membuka judul “Ternyata, Setia Itu Susah!” yang dibuatnya dari semasa SMP dulu.
Cengar cengir sendiri didepan komputer seperti layaknya orang autis, itu lah yang terjadi pada diri Echa saat ini jika mengenang masa-lalu.

“Ha ha ha… Gue suka sama Thama yang jelas-jelas lebih pendek dari gue! Dia lebih pantes jadi ade gue!” ucap Echa.

“Hmf, dulu gue suka sama Thama, gue seneng banget kalo lagi latihan marching karena posisi bass sama belira deketan…”.

“Sekarang, gue lagi-lagi suka sama salah satu anggota marching! Dan pemain bass pula! Parahnya, gue hanya mimpi ngedapetin dia! Gue sama dia Cuma sebates sahabat! Yaa… Cowo itu Hadi! Dan hari ini, gue bakal jadi saksi dia jadian sama Kalilla…”.
“Haaaaahhhh…. Ya udah lah! Mungkin ini takdir gue kali!”.


Sekitar pukkul 14.00, Echa mematikan komputer dan beralih menuju kamar mandi. Satu jam kemudian, Echa kembali memasuki kamarnya dan mulai mengobrak-ngabrik isi lemarinya.

“Aaaah… Gue bingung!” ucapnya dengan aksi melempar baju ke kasur.

Tiba-tiba perhatian Echa tertuju pada sebuah baju berwarna pink tua dan sebuah celana berwarna putih. Pakaian tersebut dulu pernah ia pakai ketika balikan sama Aris. Sebuah peristiwa yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam kehidupannya.

“Apa gue pake baju itu aja, ya?” tanyanya dalam hati.

Tanap berfikir panjang, Echa langsung menyambar pakaian tersebut dan mengenakannya.


Seusai sholat Ashar, Echa berjalan keluar rumah. Tetapi setelah memastikan seluruh pintu dan jendela tertutup rapat dan terkunci, maklum lah, walau lagi liburan, seluruh anggota keluarganya masih pada sibuk sama urusan masing-masing.
Sesampainya Echa didepan gang rumah Hadi, dia segera mengirim SMS untuk Hadi berhubung Echa merasa asing dengan kawasan itu.

“Di, w dah smpe d dpn gang rmh lu, nih! Rmh lu yg mna? Lu kcini dunk! W ga knal daerah sini! Tkut!”.
“Sabar, Cha… W mo ngntern Kk w k Rmh Skt dlu…”
“Ouwh… Jgn lma2, iy! W tkt neh!”.
“Y!”.

Beberapa menit kemudian, dari kejauhan Echa melihat seorang cowo yang dia kenal menaiki motor sedang menuju kearahnya. Cowo itu ternyata Hadi.

“Gila! Keren amat nih anak! Baru pertama kali gue liat dia bawa motor! Hfuh, harusnya momen ini gue abadiin!” ucapnya dalam hati.

“Cha, naik!” ucap Hadi memecah keheranan Echa.

“Hah!? Naik…? Gue dibonceng Hadi? Oh my god… Mimpi apa gue semalem?” tanya Echa dalam hati.

“Woy, buruan!” kata Hadi.

“Iya bawel… Mau ke rumah Kalilla pake motor…?” tanya Echa.

“Ya enggak lah!” jawab Hadi.

“Terus, gue maul u bawa kemana?” tanya Echa.

“Ke rumah gue!” jawab Hadi.

“Rumah lu!?” tanya Echa tak percaya.

Belum sempat Hadi menjawabnya, motor sudah berhenti.

“Rumah gue yang pager putih. Tepat dibelakang rumah ini. Kalo lu mau, tunggu di rumah gue aja!” kata Hadi.

“Hmm… Makasih deh, gue nunggu lu disini aja! Tapi lu jangan lama-lama…” kata Echa.

“Ya udah, terserah lu!” kata Hadi sambil menuju rumahya, tak lama kemudian Hadi keluar bersama seorang cewe, itu Kakaknya.
“Cha, bentar, ya!” ucap Hadi.

“Bentar ya, De…” sahut Kakaknya Hadi.

“Iya…” balas Echa dengan senyum menyedihkan.


Suka duka Echa saat menunggu Hadi takkan terlupa selama sisa hidupnya. Ada rasa takut karena banya ayam-ayam yang berkeliaran disekitar situ (Echa takut ayam), takut karena dia gak kenal wilayah ini, takut karena udah mulai banyak orang-orang yang menyuguhinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya agak kesal. Dan parahnya lagi, sudah 30 menit berlalu dan Hadi tak kunjung menampakkan dirinya kembali.


Berkali-kali Echa SMS Hadi, namun balasannya tetap sama! “tnggu bntr, Cha!”. Hadi juga menyuruh Echa untuk menunggu dirumahnya saja kalau takut, tapi Echa llebih gak berani.

Akhirnya, setelah sekian lama menunggu Hadi, cowo itu dating juga! Lega rasanya! Seusah Hadi menaruh motor di rumah, mereka berdua pergi menuju rumah Kalilla.

“Huaah… Lama banget, sih lu!” Gue takut tau!” ucap Echa.

“Sorry deh! Tapi, pas gue nganter ke Rumah Sakit depan, ternyata ATM nya gak bisa! Ya udah, Kakak gue minta dianterin ke salon yang di Krukut. Jadi lama deh…” balas Hadi.

“Ouwh… Pantes!” ucap Echa.

“Emang lu takut apa sih?” tanya Hadi.

“Ayam sama tetangga-tetangga lu tuh!” jawab Echa.

“Ha ha ha… Mereka nanya yang macem-macem ya?” Lagian lu udah gue suruh nunggu di rumah aja gak mau!” ucap Hadi.

“Gue gak berani tau!” kata Echa.

“Nah, apa lagi gue, nih!” Kerumah Kalilla!? Nanti pasti gue diem aja nih… Gak berani ngomong apa-apa…” kata Hadi.

“Yaaahh… Lu kan beda, Di! Lu kan mau ke rumah calon cewe lu! Sekalian kenalan sama calon mertua en calon ipar! He he he…” ucap Echa.

“He he he… Kaya acaran lamaran aja, Cha!?” tanya Hadi.

“Ya… Gak apa-apa dong!” Kan seru jadinya!” Harusnya tadi lu ajak keluarga lu juga! Terus, siapin cincinnya… He he he…” jawab Echa cengar-cengir. “Oia, siapin penghulu juga! Biar gue deh yang jadi saksinya!”.

“Ha ha ha… Cha… Cha… Khayalan lu boleh juga tuh! Tapi ketinggian…” ucap Hadi.

“Tapi seru kan? Lagian kalo mau mengkhayal tuh jangan tanggung-tanggung! Sekalian aja yang prefect! Mumpung mengkhayal masih gratis! He he he…” balas Echa.

“He he he… Echa… Echa… Ada-ada aja lu!” kata Hadi. “Oia, Sabtu depan, kalo lu mau, dateng ya ke acara nikahan Kakak gue! Ajak Kalilla juga…”.

“Hmm… Insyaallah ya… Kalilla kan juga masih sakit! Selain gue sama Kalilla, siapa lagi yang lu ajak?” tanya Echa.

“Cuma Intan sama Andre! Gue Cuma ngundang temen-temen yang deket banget aja sama gue…” jawab Hadi.


Tak terasa mereka sudah hampir sampai di rumah Kalilla. Sebelum menuju rumah Kalilla yang kurang lebih tinggal 3 meter lagi, Echa berhenti untuk menelfon Kalilla dengan tujuan memastikan bahwa Kalilla ada di rumah.

“Assalamu’alaikum… Kalilla…?” ucap Echa yang berada di depan pintu rumah, sementara Hadi hanya menunggu di depan pintu gerbang.

“Echa…? Lu ngapain sih? Sama Hadi lagi!?” tanya Kalilla setengah berbisik.

“Hadi mau ngomong tuh!” jawab Echa. “Di, nih ngomong sendiri!”.

“Lu aja, Cha…” balas Hadi.

“Hmm… Payah lu!” kata Echa.


Echa mengutarakan tujuannya bersama Hadi datang ke rumah Kalilla sore-sore gini. Dengan bahasa yang agak bertele-tele, akhirnya kedua sahabat Echa resmi berpacaran pada tanggal 1 July pukul 16.46 WIB. Tak lupa Echa memberi tahu tentang ajakan Hadi ke acara pernikahan Kakaknya. Setelah semua urusan selesai, Hadi dan Echa meninggalkan rumah itu.

“Gimana?” tanya Echa.

“Jantungan! Tapi lega… Thanks ya, Cha!” jawab Hadi.

“Sama-sama… Gue ikut seneng kalo sahabat gue seneng… Lagi pula, gue juga pengen ngebales kebaikan lu! Waktu itu lu udah mau bantuin gue balikan sama Aris, walau ujung-ujungnya putus-putus juga…” kata Echa.

“Yaah, Cha… Udah, gak usah diinget-inget lagi!” kata Hadi.

“Hmm… Kita mau pulang lewat mana nih? Disini jalannya sama aja…” ucap Echa.

“Lewat sana aja ya, Cha! Gue sekalian mau ketemu Aris dulu!” balas Hadi.

“Ngapain?” tanya Echa.

“Ya… Lagi pengen ketemu aja!” jawab Hadi.

“Ada-ada aja lu , Di!” ucap Echa.

“Gak apa-apa kan?” tanya Hadi.

Echa hanya mengangguk pasrah. Semoga aja dia gak ketemu sama Aris. Walau sejujurnya hati kecilnya merasa kangen dengan cowo yang sudah berkali-kali membuatnya menangis.
Saat lewat didepan rumah Aris, dengan sengaja Hadi memanggil Aris. Dia pun keluar dan menampakkan dirinya di hadapan Echa.

“Hadi! Lu sengaja!? Mau ngerjain gue!?” sahut Echa kesal dan salting.

“Di, kok lu sama Echa? Waah… Jangan-jangan…?” ucap Aris.

“Apaan sih!? Gak usah jelous gitu lah! Gue abis dari rumah sahabatnya! Dia Cuma nemenin gue aja…” balas Hadi.

“Ngapain lu?” tanya Aris.

“Hmm… Lu jangan nyebar, ya! Gue abis jadian sama Kalilla…!” jawab Hadi.

“Waaahhh… Selamet, ya!” ucap Aris.

“Di… Pulang! Udah sore!” sahut Echa.

Hadi menurut dan akhirnya mereka pulang. Jujur, saat itu Echa seneng banget bisa ngeliat wajah Aris lagi. Walau jika inget semua perbuatan Aris kepadanya, air mata Echa selalu menetes dengan sendirinya.

Percaya Kata Hati Part. II

Sabtu, 10 Juli 2010

Pagi itu terasa lebih sejuk karena hujan yang turun semalaman, dedaunan terlihat lebih segar dengan embun-embun segar yang membuat udara lebih baik dari biasanya. Berhubung hari ini hari Sabtu, Farah malas untuk bangun pagi, dia ingin meneruskan tidurnya. Hari ini, tidak akan ada yang boleh mengganggu tidurnya, siapa pun itu.

Namun, handphone nya berdering, tidak sekali, melainkan berkali-kali. Sunggung mengusik jam tidurnya. Deringan itu menandakan ada panggilan masuk. Dengan malas, diraihnya benda kecil itu dari atas meja belajarnya.

“Hmm, halo?” sapa Farah dengan suara malas.

“Faraaah… Lu tidur ya!? Rah, gue mau ngajak lu ke Puncak nih… Pagi ini seger banget, enak buat jalan-jalan…” ucap seseorang disebrang sana.

“Ini siapa sih? Sorry, gue mau tidur…” kata Farah.

“Ini gue Dini…! Yaelah Rah, masa seger-seger gini lu malah tidur… Pantes aja badan lu kaku gitu…” kata Dini.

“Aaah, gue males Din…” ucap Farah.

“Ayolaah.. Please! Ada Putra loh! Lu harus ikut… Please bantu gue…” ucap Dini memelas.

“Hah!? Gilang…!?” sahut Farah yang langsung bangun dari tidurnya.

“Siapa…? Gilang? Siapa tuh? Orang Putra kok… Ngelindur ya lu…?” tanya Dini.

“Ehehe… Iya kali… Ok deh, gue ikut… Tapi jemput gue ya…” jawab Farah yang entah mengapa jadi sulit menolak.

“Ya udah, jam setengah 8 gue jemput! Buruan mandi…” kata Dini.

***

Niatnya sih ingin tidur dalam perjalanan. Tapi, hatinya terlalu gelisah melihat Gilang dan Dini duduk berdampingan. Gilang menyetir dan Dini disampingnya sebagai penunjuk arah. Ya, maklum lah, Gilang baru pindah dari Semarang, dia belum tau jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya.

“Ya Allah, kenapa aku sangat tersiksa melihat mereka? Padahal mereka adalah sahabatku. Rasanya aku ingin memisahkan mereka, rasanya aku ingin menarik Dini keluar mobil, aku juga ingin duduk disebelah Gilang…” batinnya.

“Eh, Rah, kok lu ngelamun aja sih? Hayyo lagi mikirin siapa?” tanya Putra yang ternyata sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya.

“Aah, enggak kok… Gue masih ngantuk aja…” jawabnya berbohong.

“Yaudah, tidur aja, Rah… Perjalanan masih lumayan kok, masih ada cukup waktu buat lu tidur…” sahut Dini.

“Nah itu dia masalahnya, Din! Gue gak bisa tidur…” balas Farah.

“Hmm, kalo lu mau, lu bisa baca comic yang gue bawa…” kata Putra.

“Mana? comic Detective Conan khan?” tanya Farah semangat.

“Hehehe… Tau aja lu! Nih, keluaran terbaru loh! Gue udah baca, seru banget ceritanya!” jawab Putra sambil memberikan comic yang dimaksud.

Farah membacanya dengan sangat antusias. Yaa, Farah dan Gilang memang sama-sama menyukai comic seri Detective Conan. Bahkan dulu demi membeli comic edisi terbatas, mereka sampai harus patungan! Yaah, namanya juga anak kecil.

“Kalian suka Detective Conan, ya?” tanya Dini.

“Banget…!” jawab Farah.

“Iih, gue mah takut… Banyak pembunuhannya! Sadis deh…” ucap Dini.

“Yaa, memang! Malah itu bagian paling serunya…!” kata Putra. “Coba deh lu baca, nanti ketagihan deh…”.

“Hmm, enggak ah! Makasih…” balas Dini.

***

Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sebuah villa dikawasan Puncak pas milik Dini. Tak terlalu besar, namun nampak luas karena penataannya yang rapih.

“Psst psst… Rah, sini…” panggil Dini agar Farah menghampirinya.

“Apaan?” tanya Farah yang meninggalkan Gilang di teras depan.

“Rah, ini tempat yang bagus untuk PDKT… Bantu gue ya, Rah…” pinta Dini.

Dan dengan berat hati, Farah meng-iya kan permintaan sahabatnya itu.


Disaat Dini lengah, Farah mendekati Gilang, entah mengapa makin hari perasaannya makin menjadi-jadi. Seakan tak mau lepas! Tapi itu tidak boleh terjadi, sebab perasaan Farah itu hanya akan merusak persahabatan mereka bertiga, hubungan yang susah payah dibina selama ini.

“Hmm, Gilang… Gue mau ngomong sesuatu sama lu…” ucap Farah.

“Apaan, Rah? Ngomong aja…” kata Putra.

“Hmm, ada yang suka sama lu…” kata Farah.

“Siapa?” tanya Putra.

“Dini…” jawab Farah.

“Hah? Serius?” tanya Putra tak percaya.

“Iya… Dan gue janji mau bantu dia…” jawab Farah.

“Tapi gue udah suka sama cewek lain…” ucap Putra.

“Tapi Put, Dini bener-bener menyayangi lu! Gue tau sifat Dini! Sekali sayang, ya sayang! Gue mohon jangan sakiti dia… Dia cuma cewek rapuh yang pernah disakiti, dan disaat dia menemukan cinta barunya, gue gak pengen dia sedih…” kata Farah tanpa memperdulikan ucapan Gilang barusan.

“Farah, cinta itu gak bisa dipaksa… Gue gak ada perasaan apa-apa sama dia! Cuma perasaan sebatas sahabat!” kata Putra.

“Se tidaknya lu coba dulu, Lang! Gak ada salahnya khan?” ucap Farah.

“Mungkin bisa gue coba, tapi kalo gagal gimana, Rah? Gue nanti akan menyakiti 3 hati sekaligus! Hatinya Dini, hati gue dan hati cewek yang gue suka! Itu bukan jalan yang terbaik…” kata Putra.

“Tau dari mana? Siapa tau Allah berkhendak lain!” kata Farah tetap ngotot.

“Gue tau dari hati gue! Hati gue berkata tidak! Dan gue akan tetap pada keputusan itu!” ucap Putra lantang.

Farah diam, dia yakin Gilang tidak akan mengubah keputusannya. Siapapun yang akan membujuknya nanti, keputusan itu tak akan pernah goyah. Itu lah sifat Gilang dari dulu, tetap konsisten dengan satu keputusan, apapun konsekuensinya.

***

Selama di Puncak, Farah membiarkan Gilang berdua dengan Dini, dia menyendiri di kamar, alasannya ngantuk, ingin tidur dan tak ingin diganggu. Yaah, dia ingin membiarkan Dini menikmati harinya bersama Gilang, walau Farah tau Dini dan Gilang tak akan pernah bisa jadian. Tapi setidaknya ada kesan tersendiri yang bisa Dini rasakan.

“Yeah, cinta tak harus memiliki khan? Walau Gilang tidak menyukai Dini, tapi dia sudah mencintai cewek lain. Udah gak ada lagi kesempatan buat gue. Mungkin emang takdir berkata bahwa gue dan dia memang hanya sebatas sahabat, sahabat tercinta.”.

“Mungkin bentar lagi gue harus siap satu dus tissue untuk si Dini. Pasti nanti dia curhat ke gue sambil nangis-nangis karena patah hati… Sama kayak dulu, pas Dini putus sama Deny. Yeah, kasian juga gue sama Dini, disaat dia mulai jatuh cinta lagi, cowoknya gak cinta sama dia. Hmm, bertepuk sebelah tangan… Sama aja kayak gue…”.


Ditengah lamunannya di balkon kamar, tiba-tiba Dini datang menghampirinya.

“Heei? Kayaknya lu ngelamun mulu deh… Kenapa?” tanya Dini.

“Gak apa-apa kok, Din… Cuma lagi sedih aja…” jawab jawab Farah.

“Sedih kenapa? Cerita lah sama gue…” ucap Dini menawarkan diri.

“Hmm, cinta bertepuk sebelah tangan, Din! Cowok yang gue suka, udah suka sama cewek lain!” kata Farah.

“Sama kayak gue dong…” kata Dini.

Sontak Farah terkejut. “Hah!? Apa? Tau dari mana?” tanya Farah.

“Tau dari Putra… Dari tadi siang sampe sore, gue jalan sama dia… Nah kita cerita-cerita… Gue juga sempet bilang kalo gue suka sama dia! Dan dia nolak gue secara halus… Gue salut sama dia! Jarang ada cowok yang bener-bene jaga perasaan cewek…” jawab Dini. Tak ada raut wajah kesedihan yang terlihat, yang ada wajah bangga yang samar-samar.

“Dia emang cowok istimewa… Dia sahabat terbaik gue…” ucap Farah yang ikut larut dalam perasaan Dini. “Sabar ya, Din… Gue yakin nanti lu akan mendapat cinta sejati lu… Yang gak akan menyakiti lu…”.

“Iya… Thanks ya, Rah! Lu tau gak, kata-katanya yang masih gue inget jelas dalam otak gue…” kata Dini. “Dia bilang, ikuti kata hati lu, dan nanti lu akan mendapat kesempurnaan dalam sebuah kehidupan yang sangat berarti…! Sebuah kata-kata yang ringan, namun terus melekat dalam ingatan…”.

“Yaah, itu memang kata yang sering dia ucapkan…” kata Farah.


“Hei? Kalian sedang membicarakan orang ganteng ya?” sahut seseorang dari depan pintu, Putra.
“Yeah? Gue akui iya…” aku Dini.

“Ngapain sih lu tiba-tiba dateng… Gak tau kita lagi seru-serunya apa?” tanya Farah.

“Maaf deh… Dasar cewek! Hobbinya ngegossip!” jawab Putra. “Eh, gue laper nih…!”.

“Makan lah!” ucap Dini.

“Gak ada makanan apa-apa di meja… Makan apa gue? Masa piringnya gue makan…?” tanya Putra.

“Kasian banget sih, nih cowok! Hahaha… Din, kasih makan tuh… Kasian anak orang! Nanti Maminya nangis…” jawab Farah meledek.

“Yeah? Mami? Gue udah gak manggil-manggil Mami lagi ya, kalo laper! Wooo!” ucap Putra membela diri.
“Peace deh…” kata Farah.

“Yaudah, dari pada ribut, mending kita keluar yuk! Nyari makan…” kata Dini.

“Masak aja…” ucap Putra.

“Hahaha… Lu nyuruh Dini masak, Lang? Yeah? Masak air aja dia gak bisa…” sahut Farah.

“Huust! Aib orang jangan dibuka…! Udah ah… Ayo nyari makan… Usus gue udah merengkut nih..!” kata Dini.

***

Seminggu ini, Farah terus menyendiri. Jangankan Dini, Gilang pun sulit menemuinya. Walau satu sekolah, selalu ada saja alasan Farah untuk menghindar. Mungkin dia sedang berusaha berfikir memecahkan masalahnya, dia ingin seperti Conan dan Heiji dalam comic yang dengan mudahnya memecahkan masalah serumit apapun itu.

“Rah? Gue mau ngomong sama lu! Sekarang juga gue mau kerumah lu…” sapa Putra lewat telpon.

“Gue gak ada dirumah, Lang! Besok aja…” balas Farah berbohong.

“Gue gak peduli, mau lu bilang gak ada di rumah, gue akan tetep kerumah lu!” ucap Putra.


Berselang 10 menit, pintu kamarnya diketuk Mamah. Sekali Farah tak menjawabnya, tetapi Mamah tidak menyerah, wanita itu terus mengetuk pintu kamar anaknya.

“Apa sih, Mah?” sahut Farah.

“Ada Gilang dibawah… Dia mau ketemu kamu…” ucap Mamah.

“Bilang aja aku gak ada…” pinta Farah.

“Kamu kenapa, sih? Berantem ya sama Gilang? Tumben banget?” tanya Mamah.

“Mamah mau tau aja sih, itu urusan aku…” jawab Farah.

Tiba-tiba Gilang datang menyusul Mamah. Keinginannya untuk bertemu Farah sudah tidak bisa ditunda lagi. Dia tidak bisa terus dijauhi Farah, sahabat kecilnya yang juga sangat dia sayangi. Sayang saja, keduanya tidak ada yang berani menunjukkan perasaan mereka.

“Gue mohon, Rah. Kita harus ngomong!” pinta Putra.

“Mamah tinggal, ya!” kata Mamah. “Lang, jangan berantem mulu sama Farah…”.

“Iya Tante…” balas Putra, kalem.

“Apa sih yang mau diomongin? Kayaknya gak ada apa-apa deh…” kata Farah.

“Apanya? Lu sadar gak sih? Udah seminggu ini lu berubah jadi aneh, lu menjauh dari gue dan Dini. Maksudnya apa? Mau ngedeketin gue sama cewek itu? Dini aja mengerti kalo gue gak bisa membalas rasa sayangnya! Masa lu enggak!” ucap Putra.

“Bukan masalah Dini dan lu! Gue hanya lagi terjebak perasaan gue sendiri…” kata Farah mengakui.

“Lu kenapa? Cerita lah, sama gue… Lu masih menganggap gue sahabat lu, khan?” tanya Putra dan Farah mengangguk.

Farah mulai bercerita tentang dirinya yang menyukai seseorang, tapi cowok itu sudah lebih dulu menyukai cewek lain. Farah menjadi serba salah, dia bingung dengan perasaannya sendiri. Dia ingin melihat cowok itu bahagia dengan pilihannya, tapi disisi lain hati Farah sungguh tak rela melepasnya.

“Siapa cowok itu, Rah?” tanya Putra penasaran.

“Entah lah, gue juga gak tau siapa cowok itu… Yang gue tau, gue sangat mengenalnya…” jawab Farah yang sudah berlinang air mata. “Dan gue mohon jangan terus bertanya, gue sudah cukup lelah dengan semua ini.”.

“Ok, jika itu yang lu mau… Gue sahabat lu, gue sayang sama lu… Gue gak mau melihat lu menangis seperti ini…” ucap Putra sambil menghapus air mata yang membasadi pipi Farah.

“Cowok itu kamu, Gilang! Aku sayang sama kamu! Tapi siapa cewek itu, yang sudah berhasil merebut hati kamu? Sungguh aku tidak rela…” batinnya.

“Andai kamu tau bahwa aku mencintai kamu, Farah… Akankah aku bisa mengganti posisi cowok itu di hati kamu? Rasanya ingin aku bunuh saja dia yang sudah membuatmu seperti ini…” ucap hati Putra.


-BERSAMBUNG-

Percaya Kata Hati Part. I

Rabu, 07 Juli 2010
Gemuruh petir mulai terdengar seiring rintik-tintik hujan yang turun dari langit. Orang-orang di taman itu segera lari berhamburan mencari tempat berteduh. Namun tidak untuk Farah, remaja 16 tahun itu tetap duduk di bangku taman walau tubuhnya mulai basah oleh air hujan. Dia masih mengharap Gilang datang ketempat itu sesuai dengan janji mereka 5 tahun lalu sebelum Gilang pindah keluar kota.

“Apa mungkin Gilang melupakan janji itu?”

“Apa, dia belum kembali dari Semarang?”

“Atau, dia sudah tidak ingin bertemu denganku lagi?”

Beribu pertanyaan mulai muncul dalam benaknya. Sahabat kecilnya itu tidak mungkin melupakan janji yang mereka buat. Bahkan dulu Gilang lah yang tidak pernah mengingkari janji. Dia selalu memegang ucapannya dan selalu bertanggung jawab. Tapi sekarang dia kemana?

Hari semakin sore, dan hujan yang turun pun mulai berhenti. Tapi cowok itu masih belum menampakkan diri. Dengan keadaan basah kuyup dan hati yang kecewa, Farah kembali kerumahnya. Hatinya sakit, melihat kenyataan bahwa sahabat kecilnya yang sangat dia tunggu-tunggu malah mengecewakannya dengan mengingkari janji yang pernah mereka buat 5 tahun lalu.

***

Pagi itu, ruang Kepala Sekolah terlihat ramai oleh anak-anak cewek. Entah ada apa diruangan itu. Yang Farah tau, tempat itu adalah ruangan sebuah Kakek tua menyebalkan yang seharusnya sudah pensiun. Mungkin ada anak yang berbuat ulah dipagi hari sehingga harus berurusan dengan KepSek.

“Eh eh, ada apa sih?” tanya Farah kepada Dini yang sedang ikut-ikutan meramaikan suasana.

“Ada cowok ganteng yang pindah di SMA kita, Rah… Kayaknya sih seumuran kita, siapa tau aja bisa sekelas…” jawab Dini penuh semangat.

“Yeah? Cowok ganteng? Pindahan dari mana sih?” tanya Farah.

“Dari Semarang… Kalo gak salah, namanya Putra…” jawab Dini.

“Gue kira Gilang…” ucap Farah dalam hati. “Pindahan dari Semarang? Ngomongnya medok jawa dong… Iddiiih….? Hehehe…” kata Farah.

“Eh? Belum tentu!” kata Dini tak mau kalah.

“Yaudah lah, males gue ngurusin tuh orang… Kenal aja enggak! Temenin gue ke kelas yuk!” pinta Farah.

“Ayo dah, tapi gue liat PR Fisika lu ya! Gue belum ngerjain, susah banget soalnya…” ucap Dini.

“Hmm… Kebiasaan…” balas Farah.


Pak Joko selaku wali kelas memasuki kelas X.2 dengan tampang segar. Beliau mengucap salam lalu mengenalkan seseorang, murid baru.

“Pagi anak-anak. Di hari yang cerah ini, kita mendapat anggota baru. Dia pindahan dari Semarang, namanya Gilang Saputra Aditama…” ucap Pak Joko

Glek! Rasanya bagai tersambar petir di pagi hari. Apa!? Gilang? Jadi Gilang murid baru itu? Dia yang dipuja-puja cewek satu sekolah padahal ini hari pertamanya di SMA? Apa!? Gak salah? Oh tidak!

Farah mendapati Gilang yang tengah menatapnya. Tatapan bersahabat, nampak segar ditambah senyum simpulnya yang menarik hati. Tapi, mengingat kejadian kemarin sore, Farah mengurungkan niatnya untuk membalas tatapan bersahabat itu.

***

“Aduh Rah, gue makin tergila-gila sama Putra… Cakep banget sih, udah gitu duduknya pas banget dibelakang kita! Jadi mati gaya gue…” ucap Dini saat jam istirahat.

“Aduh Din, dari awal masuk sampe jam istirahat, yang lu omongin si Putra mulu deh!? Bosen gue ngedengernya…” balas Farah jutek.

“Ih? Kok jadi lu yang kesel gitu sih? Apa jangan-jangan lu ikutan naksir sama cowok itu…? Makanya kuping lu panas dengerin ocehan gue tentang Putra…? Hayyo ngaku!” kata Dini.

“Hah!? Apa? Naksir…? Aduh Din, kalo gue naksir sama cowok sombong itu, mungkin Jakarta akan dilanda tsunami… Iiiih, gak banget deh…” kata Farah.

“Cowok sombong? Dari mana lu tau kalo dia sombong? Kita aja baru mengenal dia hari ini… Atau sebelumnya lu pernah ketemu dia?” tanya Dini.

“Eeeh Din, liat tuh tampang cowok itu… Sombong banget tau…!” jawab Farah yang malah salting.

“Yeah? Belum tentu…” kata Dini.

“Liat aja nanti, lu bakal nyesel mengenal dia…” kata Farah.

Tiba-tiba sesosok cowok datang menghampiri mereka yang sedang berdebad di lorong kelas. Cowok itu tidak lain adalah Gilang atau mungkin lebih familiar dipanggil Putra.

“Hei… Hmm, Farah, boleh kita ngobrol sebentar?” tanya Putra.

Farah diam, hanya Dini yang merespons. “Waaah, Rah… Putra mau ngobrol tuh sama lu…” kata Dini.

“Apaan sih…?” kata Farah.

“Hmm, gue cuma minta waktunya sebentar aja… Please…” pinta Putra.

“Tuh, Rah… Jangan ditolak… Demi gue deeh…” kata Dini.

Akhirnya Farah menurut. Putra mengajak Farah duduk di bangku taman sekolah untuk mengobrol. Akhirnya kedua sahabat yang telah berpisah sekian lama, kembali bertemu.

“Ada apa? Gue gak punya banyak waktu…” tanya Farah.

“Rah, kok sekarang lu jadi sombong gitu sama gue? Gue punya salah ya?” tanya Putra.

“Lu gak punya salah kok… Kita aja baru kenal…” jawab Farah.

“Farah… Ini gue, Gilang… Mungkin anak-anak manggil gue Putra, tapi gue tetep Gilang! Temen masa kecil lu…” ucap Gilang.

“Oooh, jadi lu masih nganggep gue temen kecil lu? Setau gue, Gilang gak pernah ngingkarin janji…” kata Farah.

“Oooh, gue minta maaf tentang peristiwa kemarin… Sebenernya gue mau banget dateng, tapi waktu itu gue masih dalam perjalanan, gue belum sampe Jakarta. Gue coba SMS lu, telpon lu, tapi nomor lu gak aktiv… Pas gue telpon rumah lu, katanya lu tidur… Dan gue bisa apa? Gue sampe Jakarta jam 9 malem…” jelas Putra.

“Lu gak tau apa? Gue nungguin lu ditaman itu kayak orang stress, ujan-ujanan… Dan sekarang dengan gampangnya lu minta maaf sama gue…? Gak bisa gitu, Lang… Gue terlanjur sakit hati karena lu gak dateng sore itu…” kata Farah.

Putra memeluk Farah dan sekali lagi meminta maaf, mungkin Putra melakukan hal itu untuk mengingatkan kembali masa kecil mereka. Jika salah satu dari mereka ada yang ingin meminta maaf, pasti mereka berpelukan dan mengutarakan maaf mereka.

“Maafin gue ya Rah… Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik seperti lu…” ucap Putra.

“Gue juga gak mau kehilangan sahabat seperti lu, Lang… Maaf, kemarin gue kecewa berat sama lu…” kata Farah yang langsung luluh hatinya.

“Yaudah, kita baikkan ya… Jangan marahan lagi…” ucap Putra.

Belum sempat Farah berbicara, bunyi bell tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Terpaksa mereka kembali kekelas, walau sebenarnya masi ingin melepas rindu setelah 5 tahun lamanya tak bertemu.

***

Pulang sekolah, Putra menunggu Farah didepan pintu gerbang sekolah. Dia ingin mengajak Farah pulang bareng. Selama dia menunggu, setiap cewek yang melintas didepannya pasti menebar senyum, baik teman sekelas, atau pun para kakak kelas yang berani menggodanya.

“Eh, Farah, pulang bareng yuk…” ajak Putra.

“Ayuk…” balas Farah yang menerimanya dengan senang hati.

Melihat Farah diboncengi Putra, rasanya hampir seluruh cewek disekolah itu menatap Farah dengan tatapan super iri. Termasuk Dini, teman sebangkunya. Farah pun merasa menjadi cewek beruntung yang paling istimewa. Hehehe…


Sebelum pulang kerumah, mereka mampir ke taman yang ada di komplek perumahan tempat mereka tinggal. Di taman itu lah, tempat yang seharusnya menjadi tempat pertama mereka bertemu setelah 5 tahun berpisah. Dan ditempat itu juga Farah rela hujan-hujanan demi sahabat tercintanya.

“Harusnya kemarin sore lu dateng kesini…” ucap Farah.

“Iya iya… Gue tau, Farah Azriella Dewi… Hehehe…” kata Putra.

“Heei, lu orang pertama yang mengucapkan nama gue dengan benar! Hehehe…” kata Farah.

“Loh? Kok gitu?” tanya Putra.

“Iya, temen-temen gue kesulitan mengucap nama lengkap gue… Mereka mengucapkan Farah Azrilela Dewi… Hehehe…” jawab Farah.

“Hahaha… Pantes aja… Nama tengah lu emang agak sulit…” kata Putra.

“Yeah? Oia, kok lu bisa ganti nama gitu sih? Perasaan dulu lu dipanggil Gilang, kok sekarang Putra?” tanya Farah.

“Iya tuh, dulu disekolah gue yang di Semarang, temen sekelas gue juga ada yang namanya Gilang, dan gue sebagai murid baru harus ngalah… Jadilah gue dipanggil Putra… Tapi kalo lu mau manggil gue dengan sebutan Gilang juga gak apa-apa kok…” jawab Putra.

Mereka mengobrol panjang lebar, mengenang masalalu mereka yang indah. Penuh canda tawa, suka duka, yaah, namanya juga anak kecil… Dan sekarang mereka bertemu kembali, sudah makin dewasa dan perasaan mereka pun mulai berbeda. Sepertinya mereka saling memendam perasaan cinta, namun mereka tepis jauh-jauh dengan alasan mereka bersahabat dan tidak ingin merusak persahabatan mereka dengan perasaan mereka yang belum tentu lebih baik.

***

Saat Farah membuka account twitter-nya, dia mendapat Direct Messages dari Dini,
Rah, pas lu pulang bareng sama Putra, semua cewek disekolah kita pada mencaci-maki lu tau, mungkin mereka pikir, “bagaimana bisa, anak baru ngajak cewek pulang bareng?”. “Jangan-jangan dipelet lagi?”. Uaah, banyak deh caci-maki mereka buat lu. Yaah, gue gak ikut-ikutan looh, gue cuma ngiri doing… Bagi-bagi rahasia dong, Rah… Kok kayaknya lu udah deket gitu sama Putra…

Itu lah DM yang Farah terima dari Dini. Agar tidak terjadi kesalah pahaman, Farah pun menceritakannya dari awal hingga akhir se-detail-detailnya. Dini pun mengerti, dia malah meminta tolong kepada Farah agar mendekatkannya kepada Putra, yaa, Dini mengakui bahwa dirinya sudah kepincut pesona anak pindahan dari Semarang itu. Sebagai sahabat, Farah mendukungnya walau sebenarnya agak tidak rela.

Please ya, Rah… Lu khan tau, gue gak gampang suka sama cowok… Bantu gue ya, Rah… Lu khan sahabatnya dari kecil, pasti dia nurut sama lu… Ok, Rah…

Dan Farah hanya membalas,
Ok…

“Ya Tuhan… Bagaimana ini? Aku ingin melihat sahabatku bahagia, karena aku menyayanginya… Tapi, orang yang bisa membuat sahabatku bahagia adalah orang yang sangat ku cintai sejak dulu…”

“Apa aku harus mengalah? Tapi aku tidak bisa berbohong bahwa hati ini sakit…”

“Yeah, mungkin ini takdir ku… Aku mungkin hanya bisa bersahabat dengannya, tidak bisa memilikinya seutuhnya… Tidak bisa menempatkan diriku di dalam hatinya…”.

***

Mulai detik itu, Farah berusaha mendekatkan Dini dengan Putra. Itulah keputusannya, dan dia harus konsisten dengan apa yang telah dia putuskan.

“Rah, temenin gue ke Mall yuk…” pinta Putra suatu hari.

“Ngapain?” tanya Farah.

“Gue mau beli comic… Yaa, sekalian temenin gue nonton juga, kebetulan ada film bagus tuh…” jawab Putra.

“Hmm, sama Dini juga ya…” ucap Farah.

“Aaah? Enggak ah! Gue maunya sama lu aja… Gue cuma pengen berdua…” kata Putra yang tak setuju, namun Farah harus tetap pada jalurnya.

“Please… Nanti kita dikira pacaran, nanti seluruh cewek di sekolah musuhin gue lagi…” pinta Farah.

“Enggak ah! Rah, kita dari kecil juga udah biasa berdua kalo kemana-mana… Itu juga gak ada yang complain… Sekarang gak ada salahnya, laah!” balas Putra.

“Sekarang beda, Lang… Lu sekarang ganteng, popular, direbutin seluruh cewek di sekolah… Nah gue? Beda banget sama lu… Kalo ada Dini, seenggaknya ada alibi buat nyelametin gue dari amuk massa…” ucap Farah.

“Aaakh, terserah lu deh… Gue gak mau berdebad sama lu…” kata Putra.

“Naah, gitu dong, Gilang…” ucap Farah senang.

***

Semoga yang aku lakukan ini benar, ini yang terbaik untuk semua. Dan semua ku lakukan demi sahabat-sahabat ku yang paling aku sayangi… Perasaan aku tidak ada artinya sama sekali dibandingkan perasaan cinta Dini untuk Gilang.


- BERSAMBUNG -