About Me

Tempat Yang Abadi

Senin, 09 Agustus 2010
Perlahan-lahan Intan mulai membuka matanya dan mendapati dirinya tengah terbaring diranjang UKS. Kepalanya masih terasa pusing. Samar-samar Intan melihat Feby dan Rehan yang duduk tak jauh dari ranjangnya.
“Eh, Tan… Udah sadar lo?” tanya Feby.
“Emang gue kenapa, sih? Kok ada disini?” tanya Intan memegangi kepalanya yang sakit.
“Tadi gak sengaja lo ketimpuk bola basket… Gue yang lempar, dan itu murni ketidak sengajaan! Maafin gue ya… Lo gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Rehan.
“Ooooh, jadi elo!? Pusing nih kepala gue! Kalo gue kena gegar otak, emang lo mau tanggung jawab!? Hah!?” ucap Intan, sifat judesnya keluar lagi.
“Maaf deh, Tan… Gue kan gak sengaja…” kata Rehan.
“Yaudah lah, Tan… Maafin aja… Dia juga tadi udah nolong lo… Gendong lo sampe UKS! Padahal badan lo kan berat banget…” kata Feby tanpa dosa.
“Emangnya badan gue seberat apa sih!? Gue langsing kok!” ucap Intan tanpa sadar bahwa tubuhnya jauh dari kata “langsing”.
“Aduuuh…. Intan… Intan… Yaudah lah, lo udah gak apa-apa, kan? Balik ke kelas yuk! Ada ulangan fisika, nih! Rugi kalo ikut ulangan susulan… Gak bisa nyontek!” ucap Feby.
“Yaudah… Yuk, balik ke kelas!” balas Intan yang langsung beranjak dari ranjang.
“Eh, Tan, Tunggu…!” ucap Rehan.
“Apa lagi?” tanya Intan.
“Lu maafin gue kan?” tanya Rehan.
“Iya deh! Kasian gue sama lo!” jawab Intan. Lalu ,Intan dan Feby perlahan menghilang dari pandangan Rehan.


Kantin sekolah terasa sesak saat jam istirahat. Namun mereka tak memperdulikannya demi mengisi perut mereka yan g kosong dan melepas dahaga. Usai mendapatkan apa yang Intan dan Feby inginkan dari kantin, mereka kembali menuju kelas X.2 yang tak lain kelas mereka.
Di koridor,
“Tan, sebenarnya ada untungnya juga lu ketimpuk bola tadi pagi!” ucap Feby
“Enak apanya? Sakit tau Feb!” bantah Intan
“Yee… liat sisi positivnya ding! Nih ya, pertama karena lo dan gue di UKS, kita bebas dari pelajaran ekonomi! Kedua, kebetulan banget gue belom ngerjain tugas! Ketiga, gue bebas gak memperhatiin muka kuno Pak Eko! Dan terakhir, kita beruntung mengenal Rehan! Dia cakep tau! Kakak kelas aja ngerebutin dia!” ucap Feby panjang lebar.
“Ha ha ha… Rehan? Yang tadi nimpuk gue itu? Ha ha ha… Dia pasti menang muka doang! Pasti di playboy! Sama aja kayak cowok lainnya!” kata Intan.
“Yee… belum tentu dong, Tan! Buktinya aja dia gak gampang dipengaruhi rayuan fanaticnya!” kata Intan gak mau kalah.
“Itu karena dia mau sok jual mahal, mau cari sensasi! Itu taktik lama bajingan” kata Intan yang tetap santai mengucapnya.
“Iiih… dasar cewek gak normal lu! Gak bisa ngeliat cowok ganteng selain Andi!” balas Feby kesal.
Untuk sejenak, Intan terdiam, ia teringat sesuatu. “Husst… Jangan sebut nama itu lagi! Kasihan, nanti dia gak nenang di alam sana …” ucap Intan dengan nada suara agak bergetar.
Feby merasa bersalah. Tidak seharusnya dia menyebut nama Andi di depan Intan, sahabatnya sendiri yang mungkin masih terpukul pasca meninggalnya Andi, cowok yang amat Intan sayangi, lima bulan lalu. “Maafin gue ya, Tan… Gue gak bermaksud …” pinta Feby.
“Hmm, santai aja kali Feb… Itu sebatas masa lalu gue …” kata Intan.


Terlihat sesosok tubuh cowok berdiri di depan pintu kelasnya, dan kebetulan, Intan dan Feby keluar kelas belakangan. Feby yang merasa tak asing dengan sesosok cowok itu pun menyapanya.
“Hai, Re… Ngapain di depan pintu kelas gue?” tanya Feby
“Gue mau ngajak kalian pulang bareng! Itung-itung sebagai permintaan maaf gue… kebetulan gue bawa mobil, jadi gue harap kalian jangan nolak, ya?” pinta Rehan
Tanpa banyak basa basi , Feby langsung menerima tawaran itu. Intan yang kalah cepat berorasi pun harus menerimanya dengan pasrah. Feby yang memang ada rasa terhadap Rehan, memanfaatkan moment ini sebagai pendekatan antara dirinya dan Rehan.
“Hei Re, makasih banyak nih, udah repot-repot nganterin kita pulang! Hehehe…” ucap Feby.
“Ih, apa apaan lu? Ini kan dia yang mau! Kenapa musti terima kasih segala? Lebay deh lo!” sahut Intan dengan tanpang jutek.
“Hahaha… Udah… Udah… Jangan berantem di mobil gue! Hehehe… Eh, rumah kalian di mana nih?” tanya Rehan dan tatapannya tertuju pada Intan yang asyik sendiri menatap jalan-jalan Jakarta yang penuh sesak.
“Rumah gue didaerah Kemang, Re…” jawab Feby penuh senyum.
“Oh… Kalo lo, Tan?” tanya Rehan.
“Sama…” jawab Intan tanpa merubah tatapannya.

Perlahan, Intan mulai menyadari beberapa yang terjadi pada akhir-akhir waktu ini. Dia sudah bisa melihat, bahwa Feby diam-diam menyukai Rehan. Tetapi di samping itu, dia juga merasakan perhatian yang lebih dari Rehan, mungkin Rehan memendam rasa padanya. Tapi Intan harap, itu hanya sebatas perasaannya.
Suatu hari, Feby datang kerumah Intan dengan wajah agak sayu. Intan sudah bisa menebak, pasti Feby sedang ada masalah.
“Tan gue sedih nih… Ternyata cowok yang gue suka, udah punya gebetan… Dan gebetannya itu elu, Tan! Huhuhu… Patah hati lagi nih gue!” curhat Feby.
“Gue…!? Hmm… Pasti Rehan!” balas Intan.
“Iya… Kok lu tau?” tanya Feby.
“Tau lah… Gue gitu loh! Hehehe…” jawab Intan cengengesan.
“Huhuhu… Kenapa sih, cowok yang gue suka pasti larinya ke elu!?” ucap Feby.
“Maaf Feb… Itu mah bukan salah gue! Hehehe… Tapi kalo lu emang suka sama Rehan, nanti gue bantu deh, Feb… Gak tega gue sama lu… Hehehe…” kata Intan.
“Bener ya, Tan!” ucap Feby semangat.
“Iya… Iya… Santai aja… Semua pasti beres sama gue…! Hahaha…” balas Intan penuh percaya diri.

Disamping itu, Rehan diam terpaku menatap selembar kertas berisi keterangan kesehatannya. Dia sangat ingin membantah semua huruf yang tertera dalam kertas itu. Tak percaya, tak terima dan tidak menyangka bahwa dia divonis menderita radang paru-paru akut. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pasti dia tidak bisa selamat, dia pasti mati! Dan hidupnya tidak lama lagi. Yang lebih hancur adalah hatinya, niat untuk menyatakan cinta pada Intan sirna sudah. Tak ada gunanya lagi berharap banyak.
Kini dia mulai menjaga jarak antara dirinya Intan dan Feby dengan tujuan diantara mereka tidak ada yang terluka jika dirinya tiba-tiba menghilang nanti. Dia sangat berharap, nanti dia dapat tertidur tenang dalam tidur abadinya.

Sebelum bell masuk sekolah berbunyi, Intan berusaha mencari Rehan disekitar sekolah dengan tujuan ingin mengutarakan maksudnya untuk mendekatkan Feby dengan Rehan. Dan akhirnya mereka bertemu ditangga sekolah. Intan melihat ekspresi yang murung, tak seperti biasa yang selalu cerah. Intan pun menegurnya.
“Rehan, lu kenapa?” tanya Intan penuh perhatian.
“Gak kenapa-napa, kok!” jawab Rehan yang mencoba menghindar namun dicegah Intan.
“Maaf ya, gue gak segampang itu di begoin! Gue tau lu ada masalah! Kalo lu merasa diri lu itu cowok beneran, gue tunggu di bangku taman samping sekolah jam istirahat pertama!” ucap Intan dengan nada agak membentak

Jam istirahat pertama, Intan benar-benar menunggu Rehan ditaman. Rehan pun datang dan menceritakan semua masalahnya walau dengan sedikit paksaan dari Intan. Sekarang Intan tau apa sebab Rehan berubah dan sekarang dia pun tau apa yang harus dilakukannya.
“Reh, emangnya lo piker segampang itu lo mati? Enggak lah… Dan lo juga bisa sembuh kali… Percaya gak?” tanya Intan bersemangat.
“Gak percaya…” jawab Rehan datar disertai gelengan kepala.
“Percaya dooong…” pinta Intan menyemangati Rehan.
“Yaudah, gue percaya deh… Emang gimana caranya? Ini tuh udah akut, Tan…” tanya Rehan yang nampak masih putus asa.
“Caranya, setiap hari abisin waktu lu bareng gue sama Feby! Dan lo wajib coba! Ini nyata looh…” jawab Intan.
“Ya udah… Nanti gue coba…” kata Rehan pasrah.

Setelah hari itu, Intan, Feby dan Rehan terlihat selalu bersama. Mereka seperti satu paket yang tidak perah bisa dipisahkan dengan cara apapun. Mulai dari tugas sekolah, kelompok belajar, dan lain sebangsanya mereka selalu kompak. Rehan sudah bagai pangeran kelantan yang ditemani dua permaisuri cantik disampingnya.
Hari berhanti hari, minggu pun terus berganti, tak terasa satu bulan telah terlewati. Sungguh waktu yang amat singkat bagi Intan, Feby dan Rehan. Mereka pun sekarang menjadi sangat dekan. Yaa… Keberuntungan tersendiri bagi Feby bisa dekat dengan sang pujaan hati, yang membuat hari-harinya penuh cinta dan kasih sayang. Begitu juga bagi Rehan yang bisa menghabiskan waktu bersama Intan sebagai penyemangat hidupnya.
“Re, coba deh lo periksa lagi ke dokter. Gue jamin hasilnya jauh lebih baik.” ucap Intan suatu hari.
Rehan menuruti perkataan Intan. Ditemanin kedua sahabatnya, hari itu juga dia datang ke rumah sakit yang dulu pernah dia datangi sebulan yang lalu. Hasil tes keluar dan hasilnya sangat memuaskan. Paru-paru Rehan bersih dan kini dia sehat. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya Rehan ucapkan kepada Tuhan dan kedua sahabatnya, Intan dan Feby.
“Cieeee… Yang udah sembuh… Traktir kita doong…! Hehehe…” ucap Feby penuh canda.
“Ide bagus tuh, Feb! Kebetulan gue laper nih… Kebetulan juga di depan ada tukang bakso tuh!” kata Intan sambil memegangi perutnya yang memang terasa lapar.
“Ya udah, ayo deh… Gue traktir makan bakso…” balas Rehan.

Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Selang satu minggu setelah Rehan di vonis sembuh, kejadian tragis terjadi diantara mareka. Sang sahabat tertabrak truk saat menyebrang jalan ketika pulang sekolah dan kejadian itu dilihat langsung oleh Rehan dan Feby. Bagaimana truk itu melaju cepat tanpa kendali, mendengar jeritan Intan untuk terakhir kali, melihat tubuh Intan terhempas penuh darah. Tragis! Dan itu amat sangat mengerikan.
“Jaga Feby ya, Re… Dia sangat menyayangi lo…! Dan kalian tetap sahabat gue sampai kapan pun…” ucap Intan sesaat sebelum detak jantungnya berhenti.
Rehan yang kala itu sedang menggenggamtangan Intan pun hanya bisa berteriak penuh sesal, sementara Feby tak hentinya menangis melihat kondisi sahabatnya yang sedemikian rupa. Hatinya terluka kehilangan sahabat yang amat disayanginya.
Kini Intan telah pergi, menyusul Andi, kekasihnya yang lebih dulu pergi meninggalkannya. Menuju tempat terindah yang abadi. Tak ada lagi Intan yang jutek, cerewet dan tak ada lagi tawa Intan disela-sela canda tawa mereka. Semua tak akan ada lagi…
Dia pergi, ketempat yang abadi, namun persahabatan dan seluruh perasaan ini akan tetap kekal abadi di alam sana. Tempat paling indah yang abadi.

0 komentar:

Posting Komentar