Sabtu sore ini aku berniat untuk melaksanakan hobi memotretku. Tujuanku kali ini adalah sebuah Taman, mereka sering menyebutnya Taman Cinta. Mungkin karena taman ini selalu didatangi oleh pasangan yang sedang memadu cinta. Tapi kalau menurutku wajar saja, taman memang identik dengan tempat kencan.
“Kamu mau kemana lagi, Naura?” tegur Mama dari balik pintu kamarnya yang agak sedikit terbuka.
“Hmm, biasa lah, Ma. Seperti tidak mengerti aktivitasku saja…” balasku dengan senyum memelas, sambil melayangkan kamera SLR Sony Alfa 200 kesayanganku.
“Oh, mau jadi tukang foto lagi…” guman Mama.
Aku menahan nafas, takut mendengar lanjutan kalimat dari bibir Mama. Biasanya, dia selalu melarangku untuk memotret. Aku sangat berharap, kali ini aku dapat melaksanakan hobi memotretku tanpa harus berdebat terlebih dahulu dengan Mama.
“Oke, silahkan… Tapi jangan pulang larut malam…” katanya.
Senyumku mengembang. Dengan segera ku hampiri dia, mencium tangannya dan mencium pipinya. “Sip deh! Terima kasih ya, Ma!”.
Akhirnya aku sampai di tempat tujuan, Taman Cinta. Yaa, benar! Tidak sedikit pasangan yang memadu kasih di sudut sudut taman yang luas ini. Aku menuju ke sudut taman yang agak sepi. Satu per satu ku potret objek yang kurasa bagus dan menarik. Seperti taman yang luas dengan pohon-pohon yang rindang, dedaunan yang berguguran, sangat natural! Ada juga sepasang kekasih yang sedang duduk berdua di bangku taman di bawah pohon yang terlihat sangat sejuk, burung-burung yang hinggap di pohon, hingga matahari di sore hari dan langit yang kemerahan.
Tak kurasa empat jam berlalu sejak aku mulai memotret. Hasil potretanku pun sudah cukup banyak sampai akhirnya ku putuskan untuk pulang. Matahari sudah mulai bosan menampakkan cahayanya, perlahan-lahan dia pun pergi, menghilang dibalik bayangan atap-atap perumahan, dan seketika alam berubah menjadi gelap. Namun tak lagi gelap ketika sang bulan muncul dan menyinari dunia. Indah sekali! Tanpa pikir panjang, ku raih kembali kameraku dan mengadahkannya keatas sampai cahaya bulan serta keindahan alam pada malam hari terpatri dalam layar kameraku.
Sebelum pulang, aku mendapat sebuah gambar yang sangat indah dan langka! Sesosok cowok yang ku suka sedari SMP. Sayang, semenjak SMA aku tak berani bermain bersamanya lagi, lantaran dia terlalu popular untuk menjadi temanku yang cupu dan pendiam ini.
Sekolah, jam istirahat.
“Mer, look at my new picture's in nature! Cool isn’t it?” Ku tunjukkan gambar-gambar baruku kepada Mercy yang tengah duduk di kursi kantin.
“Yeee, bukannya nyapa dulu, malah langsung nunjukkin foto. Tapi, boleh juga nih dilirik…” serunya riang dengan senyuman khasnya yang paling ku suka.
Mercy mulai melihat dengat cermat hasil tangkapan gambarku kemarin sore. Mercy memang tidak bisa memotret, tapi dia tahu ilmu-ilmu dasar memotret.
“Bagus nih, Ra. Yang ini! Sini deh…” katanya setelah beberapa menit melihat-lihat hasil jepretanku. “Anglenya keren banget!” serunya.
Aku tersedak makananku saking kagetnya. Mercy yang reflex melihatku tersedak makanan langsung mengambilkan botol air minumku yang ku letakkan di sudut meja.
“Kenapa, sih? Ada yang salah dengan gambar ini? Bagus kok!”. Mercy memandangku dengan tatapan aneh namun curiga.
“Astaga! Aku lupa menghapus foto itu! Oh my God! Jangan sampai Mercy menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut!” batinku.
“Hmm, neggak kok!” jawabku, berbohong.
Seperti bisa membaca pikiranku, Mercy sepertinya mulai menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut. Dia mengerutkan keningnya, lalu memandangku sinis.
“Ehem!? Ini Raka, kan!? Kamu motret bareng dia kemarin sore!? Kok bisa? Gimana ceritanya!?” ucap Mercy dengan suara menggelegarnya, membuat semua pasang mata di kantin menatap kami, dengan cepat, ku bekap mulut Mercy sebelum dia membuat semua makin berantakan.
“Gak usah nyebut nama, ya!” ucapku. “Iya, kemarin sore aku motret di Taman Cinta. Gak sengaja dia kepotret… Itu juga pas mau pulang. Sebelum pulang kami cuma tegur sapa sebentar, lalu yaa aku pulang kerumah lah!”.
“Payah! Kenapa gak motret malem bareng dia aja… Kesempatan langka juga!” sahut Mercy gemas.
“Sejujurnya sih aku pengen banget, Mer! Tapi aku gak mau aja nanti ada yang tau dan bikin satu sekolah heboh! Jadi, mendingan aku pulang…” balasku apa adanya.
“Hmm, aku rasa keputusan itu memang yang terbijak buat kamu…” ujarnya.
Sepulang sekolah ini, aku kembali melakukan hobi memotretku. Tujuan kali ini adalah Danau dekat rumah Oom Burhan. Segala keperluan memotret segera ku persiapkan lantaran tak ingin hari semakin sore. Baterai cadangan, tali kamera, tripod, laptop, USB, modem dan tentu saja SLR Sony Alfa 200 ku tercinta. Aku meraih handphone yang tergeletak di atas meja, ternyata ada pesan masuk.
Jantungku berdetak cepat ketika aku melihat siapa yang mengirimiku pesan tersebut.
“Raka!?” aku berteriak histeris. “Sejak kapan dia tau nomor ku? Ada apa ini? Astaga, seperti mimpi rasanya!”.
Naura, kalo ada waktu, bisa enggak kita ketemu di Taman Cinta? Ada yang mau aku omongin sama kamu. Jangan lupa ya, hari ini, jam 3!
GLEKKK!!
Aku langsung melirik jam. Astaga! Pukul 15.20! Aku ragu Raka masih menungguku di Taman Cinta. Namun mau bagaimana lagi, mau membalas SMS darinya, tapi tidak punya pulsa. Baiklah, langsung berangkat ke Taman Cinta saja, dengan harapan cowok itu masih mengungguku.
Terkejut bukan kepalang saat ku buka pintu. Raka sudah di depan pintu, dengan wajah yang agak pucat dan memegang sebuah amplop cokelat. Namun, senyum manisnya masih mengembang di wajah pasinya itu.
“Raka?” ucapku terkejut.
“Hmm, kamu tertidur ya? Hampir setengah jam aku menunggumu di Taman Cinta! Capek tau…” balasnya.
“Hehehe… Maaf ya, tadi aku sibuk menyiapkan peralatan memotret… Hmm, mau ngomong apa? Masuk dulu yuk…” Aku mengajaknya masuk.
“Enggak usah Nau, aku sudah mau pulang nih… Aku cuma mau ngasih amplop ini aja…” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop yang dipengangnya.
“Hmm… Apa ini?” tanyaku.
“Eeeeh, jangan dibuka sekarang ya… Nanti aja kalo ada waktu! Lagian kamu juga mau pergi motret kan?” katanya.
“Oh iya ya! Ya sudah, deh! Hmm, mau ikut aku motret gak?” ajakku.
“Lain kali aja ya… Maaf banget aku harus pergi…” balasnya.
“Oh” ucapku dengan wajah kecewa.
Raka melambaikan tangannya sambil melangkah menjauh dari rumah. Dia pergi, namun tak apa, aku senang dia sudah mengirimiku SMS, datang kerumah ku, dan memberiku amplop cokelat ini. Segera aku masuk kedalam rumah, meletakkan amplop itu di laci meja belajarku. Akan ku buka sepulang memotret nanti.
Aku belum keluar dari pintu gerbang halaman rumahku, namun Mercy sudah menghampiriku dengan deraian air mata dan baju serba hitam. Aku terkejut, heran dan panic.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Raka……” jawabnya dengan isak tangis, Mercy memelukku.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Sabar ya Naura… Raka sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Kamu yang tabah ya…” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Raka... Dia sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Aku harap kamu bisa menjadi cewek yang tegar...” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya makin pecah.
“Hah!? Apa!?” aku syok! Tak sadar aku mendorong tubuh Mercy, melepas pelukannya.
Aku menatap dalam mata Mercy, melacak apakah dia berbohong. Sungguh ini tak dapat ku percaya! Baru sekitar 5 menit yang lalu cowok itu datang kerumahku. Memberikan amplop cokelatnya! Lalu? Kenapa tiba-tiba dia sudah tidak ada?
“Aku enggak berbohong Naura!” ucapnya sendu.
Aku masih tak percaya. Aku mundur, beralih menuju kamarku, meraih amplop cokelat yang diberikan Raka 5 menit yang lalu. Lalu kembali menghampiri Mercy.
“Kamu lihat amplop ini!? Ini pemberian Raka! Lima menit yang lalu!? Aku masih berbicara dengannya! Masih sempat melihat senyumannya! Lima menit yang lalu, Mer! Sangat singkat!” ucapku. Benar-benar tidak bisa mempercayai ucapan Mercy.
“Enggak mungkin! Ayo ikut aku!” Mercy menarik tanganku. Mengajakku kerumah Raka yang emang hanya berbeda satu blok dari rumahku.
Nampak bendera kuning berkibar di depan gerbang rumah Raka. Mataku membesar, nafasku terasa sesak, seketika badanku menjadi lemas saat membaca sebuah nama yang tertulis di bendera kuning itu. Nama Raka. Aku berlari memasuki rumahnya, tak perduli akan semua tatapan dari sekian pelayat yang datang.
Tangis ku pecah saat ku lihat bahwa yang terbujur kaku terbalut kain putih itu adalah Raka. Wajahnya sangat pucat, dia sudah tak bernafas lagi. Aku tersimpuh di atas tubuhnya yang kaku.
“Sabar ya Naura… Kamu harus mengikhlaskan kepergiannya… Ini memang mendadak, kita semua pun kaget…” ucap Mercy, dia mendekapku, membuatku merasa tidak sendirian memikul keterpurukan ini.
“Kapan dia pergi? Aku yakin yang menemuiku itu Raka!” balasku.
“Dia pergi tepat setelah dia sampai dirumah… Satu jam yang lalu… Itu yang dikatakan Ayahnya! Selama ini Raka merahasiakan penyakitnya dari kita semua… Yang menemuimu itu bukan Raka… Hanya ilusimu!” kata Mercy.
“Ada buktinya, Mer! Surat ini!” ucapku tak mau kalah.
“Seterah deh! Sudah lah, kita jangan bertengkar di depan Raka… Kasihan dia, kita harus membiarkan dia beristirahat dengan tenang…” balas Mercy.
Seminggu setelah kepergian Raka. Aku pergi menuju Taman Cinta. Tempat kita berjanji untuk bertemu sebelum dia pergi. Amplop cokelat pemberiannya masih belum ku buka. Rasanya baru hari ini aku siap mental untuk membukanya. Amplop itu berisi sebuah surat.
Dear Naura,
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk mengenalmu, izinkan aku untuk mengenalmu lebih jauh!
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk melihatmu, izinkan aku untuk terus memperhatikanmu…
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk bersamamu, adakah kau bersedia memelukku didekapmu?
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk menjagamu, izinkan aku untuk terus berada disampingmu.
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk hidup di dunia, izinkan aku mengucap kalimat terakhirku untukmu…
Aku mencintaimu, Naura…
Salam Sayang,
Raka.
Aku mendekap surat itu dengan deraian air mata. Selain surat, aku juga mendapat beberapa foto hasil jepretan Raka yang tidak ku sadari. Foto-foto itu adalah foto-foto diriku. Terselip juga foto ketika SMP, disaat kami masih sering memotret bersama.
Hari yang senja di Taman Cinta, ku habiskan mengenang dirimu yang kini telah tersenyum abadi diatas sana.
Loh, ini mirip yang di note facebook gw yang gw ambil dari cerpen.net judulnya sepucuk surat di senja sunyi