Rintik hujan turun menebarkan
hawa dingin yang menyengat kalbu. Lukisan embun yang menghiasi jendela kaca
dikamarku menggoda nurani untuk menuliskan namamu disana. Sebuah nama sederhana
yang pernah menemani hari-hariku, dalam suka maupun duka, dalam derasnya hujan
juga teriknya sinar matahari.
Kisah itu sangat sederhana dan
mudah. Kau datang disaat aku belum mengenal siapapun ditempat itu, muncul
sebagai tokoh malaikat yang bertugas menemani dan melindungi aku sebagai murid
baru. Dengan sikapmu yang sederhana, sangat ramah dan juga sering mengenalkan
ku akan hal-hal baru, dengan semua itu kau berhasil menarik perhatianku.
Aku tersadar dari lamunanku,
segera ku hapus namanu yang telah tertulis di jendela. Aku beranjak dari kursi
panjang itu dan beralih berbaring diasar kasur. Berkali-kali aku mencoba
mengubah posisi tidurku, berharap dapat tidur dengan tenang dan menepis semua
bayangmu yang sedari tadi berputar dalam pikiranku.
Menyerah! Sekuat apapun usahaku untuk tidak
mengingat masa lalu itu, semua seperti menyerang balik, semakin ingat dan
jelas. Mungkin karena suasana gerimis yang mengundang semua ini. Baiklah,
sepertiya tak ada salahnya bagiku untuk sesekali mengingatnya. Mengingat kisah
singkat yang terjadi dua tahun lalu. Kisah yang seharusnya tidak boleh ada.
Karena terlalu banyak efek negative yang kini tertinggal sebagai akhir cerita
singkat itu.
==
Pertama kali aku mengenalnya,
adalah saat aku bergabung dalam salah satu ekstra kulikuler yang ada
disekolahku. Dia seniorku, berbeda satu tahun dari usiaku.
“Hey, gue Radit!” ucap cowo yang
bertubuh tinggi itu.
“Iya, hey juga… Gue Nessa” aku
balik mengenalkan diriku.
Perkenalan itu tidak hanya
sekedar bertukar nama, pada akhirnya kami terlibat dalam sebuah obrolan yang
menarik. Saling menceritakan tentang hobby dan tentang semua kegiatan yang
disukai masing-masing. Walau baru pertama berkenalan, rasanya kami sudah merasa
akrab satu sama lain.
Mulai dari masa perkenalan itu, entah
mengapa kami menjadi sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan aku sering
diajak bergabung bersama teman-temannya yang lain, siswa-siswi kelas 11. Setiap
jam istirahat kami selalu berkumpul di koridor dekat tangga hanya untuk
mengobrol atau melakukan aktivitas ringan lainnya. Akibatnya, aku lebih dekat
dengan para seniorku dibanding dengan teman-teman sekelas ataupun seangkatan.
Dengan aktivitas baruku, aku
sempat melupakan pacarku yang bersekolah disekolah lain. Cowok yang telah
menjadi pacarku sejak kelas 3 SMP hingga sekarang. Aku merasa agak berdosa
karena lebih banyak menghabiskan waktu bersama Radit dibanding dengan Bayu,
pacarku. Namun apa daya, jarak dan waktu sangat tidak mendukung jika aku dan
dia ingin menghabiskan waktu bersama, kecuali hari libur.
Suatu hari, saat aku diantar
Radit pulang, kami kehujanan ditengah perjalanan. Hujan lebat beserta angin dan
petir.
“Nes, lanjutin gak nih? Hujannya
parah banget!” ucap Radit yang sudah basah kuyup dan mulai kedinginan.
“Yaudah deh, minggir dulu aja.
Cari tempat yang bisa dijadiin tempat berteduh” balasku yang sadar akan kondisi
kami yang sudah basah semua.
Akhirnya kami berteduh disebuah
warung. Semilir angin menerpa tubuh kami yang sudah basah hingga kami makin
merasa dingin.
“Het dah! Dingin banget!” ujar
Radit sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.
“Hahaha… Kasian banget lo!” aku
meledeknya.
“Ye curang! Gue kan didepan,
nyetir! Dingin tau kena angin!” balasnya sambil menjitakku.
“Ah! Sakit! Kebiasaan banget
sih!?” ucapku kesal.
“Hahaha… Lucu deh kalo lagi
marah!” kata Radit yang membuatku tidak mampu membalas ucapannya itu.
Tak terasa hujan telah reda,
hujan tidak sederas tadi. Sudah tidak ada petir dan angin. Hanya gerimis. Kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang, berhubung hari semakin sore.
Setelah 10 menit menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai dirumahku.
“Kak, masuk dulu, neduh… Deres
lagi nih hujannya. Lo udah kaya korban banjir, jelek banget!” ucapku.
“Wah ngocol! Hmm, yaudah boleh
deh. Gue mau ganti baju juga. Kalo masih hujan ya gue pake rain coat pulangnya”
balasnya.
Aku membuka gerbang, dia pun
memarkirkan motornya dihalaman rumahku. Setelah mengetuk pintu dan mengucap
salam, nenekku membukakan kami pintu, dan menyambut kami.
“Nih Kak, kalau mau ganti baju”
ucapku sambil membuka pintu yang ada dibawah tangga, kamar mandi.
“Sip.” Balasnya singkat.
Aku meninggalkannya, bergegas
mandi dan juga mengganti seragam basahku dengan pakaian kering. Saat aku keluar
kamar, ternyata Kak Radit masih berada di kamar mandi. Aku berinisiatif
membuatkannya teh manis hangat.
“Pas banget timmingnya!” ucapku
saat mendengar suara pintu terbuka.
“Bikin apaan tuh?” suaranya
terdengar mendekat.
Tiba-tiba dia merangkulku.
Rasanya ada listrik yang mengalir dalam tubuhku, lalu menyambar jantungku dan
membuatnya berdetak keras dan lebih cepat dari biasanya.
“Ini teh anget” jawabku singkat.
Dia mengambil teh yang semua ada
di tangan ku, kemudian mengaduk-aduknya dengan sendok kecil. Tertawa kecil dan
mulai menjitakku.
“Aw! Apaan sih!?” ucapku kesal.
“Hahaha, ini lo yang buat? Yakin?
Bukannya nenek lo yang buat?” ucapnya dengan tawa jahil.
“Gue yang bikin lah! Nenek gue
ada dikamarnya noh!” balasku.
“Yakin?” Tanya cowok itu sambil
menjitakku lagi, dan aku hanya bisa memasang raut wajah kesal. “Makasih ya”
lalu dia meminumnya sampai habis.
Aku mengajaknya keruang tau,
menemaninya mengobrol sambil menunggu hujan berhenti.
“Kak, sebenarnya hubungan lo sama
Kak Meta tuh seperti apa sih?” tanyaku penuh rasa penasaran
Cowok itu terdiam sejenak, sepertinya
ada yang disembunyikan dariku. Dan sesuatu itu adalah hal yang besar.
“Rahasia ya, Kak?” tanyaku lagi.
“Hahaha… mukanya serius amat!”
dia malah meledekku.
“Ah serius!” ucapku kesal.
“Biasa aja kali!” dia menjitakku
untuk kesekian kalinya. “ Meta itu mantan gue. Emang kenapa? Dia gangguin lo?”
Kak Radit balik bertanya.
“Hmm, enggak ganggu sih, Kak”
jawabku. “Terus, kalian mau balikan ya?”
“Enggak tuh! Hahaha” jawabnya
dengan tawa. “Cieeee, cemburu ya?” dia mencubit pipiku.
“Enggak!” jawabku lantang.
“Yakin?” ucapnya dengan nada
menggoda.
Aku tidak menjawab pertanyaan
terakhir dari Kak Radit. Namun dalam hati aku bergaka, “Iya kak, gue cemburu”
Tiba-tiba dia mengeluarkan
handphone dari saku celananya, dan mulai mengetik, sepertinya membalas SMS. Raut
wajahnya sangat ceria, senyam-senyum sendiri, bahkan sampai tertawa, mungkin
itu SMS dari Kak Meta.
Namun, tiba-tiba handphone ku
bordering. Ada pesan masuk. Aku melirik Kak Radit dengan sinis. Pasti dia
mengerjaiku lagi.
“Apaan liat-liat?” Tanya cowok
itu.
“Dasar kurang kerjaan!” jawabku
kesal sambil membuka pesan tersebut.
Rasanya seperti ada petir yang
menyambar. Membuat antara hati dan otak tidak dapat sinkron. Jujur saja, aku
merasa senang membaca pesan tersebut. Tapi bagaimana tentang Bayu? Cowok yang
berstatus pacarku hingga sekarang. Bagaimana juga dengan Kak Meta? Cewek jutek
itu pasti akan menjadi medusa dihadapanku. Oh Tuhan, kenapa harus sekarang Kak
Radit mengirimkan pesan ini?
Aku menatap Kak Radit, dan dia pun balas
menatapku. Sepertinya, dia mulai membaca keraguanku.
“Kalo gak bisa ngomong langsung,
bales di SMS aja” ucapnya sok bijak.
“Tapi lo kan tau kalo gue masih
pacaran sama Bayu!” balasku.
“Gue tau kok” jawabnya.
“Gue rasa, lo juga tau kan kalo
Kak Meta juteknya luar biasa sama gue? Dia mengintrograsi gue kemaren.
Gara-gara akhir-akhir ini gue deket sama lo” ucapku yang membuatnya ternganga.
“Hah!? Iya apa?” ucapnya tak
percaya.
“Emangnya lo gak tau? Payah” aku
bertanya.
“Yaa, setau gue sih Meta emang
tampangnya jutek, tapi sebenernya hatinya gak se-jutek mukanya. Gue gak tau
kalo dia sempet ngelabrak lo. Tapi lo gak kenapa-napa kan, Nes?”
“Gue aman aja kok. Gue bukan anak
TK yang wajib lo khawatirin kalo dilabrak sama cewek yang lagi cemburu”
“Maafin gue, Nes” ucap cowok itu.
Sepertinya dia menyesal telah membawaku kedalam masalahnya.
“Kak, sebaiknya lo jujur sama gue
sekarang. Sebenarnya antara lo sama Kak Meta tuh ada hubungan yang seperti apa?
Hubungan baik atau musuhan? Atau apa? Gue yakin Kak Meta ngomong sama gue
kemaren tuh ada alasannya” Tanya ku penasaran, juga kesal.
Kak Radit terdiam sejenak,
menghela nafas kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa.
“Dia cuma mantan gue, Nes. Cewek
yang gue putusin karena tingkah kekanak-kanakannya yang kelewatan. Lima bulan
lalu gue sama dia putus karena dia kelewat manja, gue gak suka. Tapi kayaknya
Meta masih gak terima, dia selalu menghardik semua cewek yang gue deketin
ataupun yang lagi ngedeketin gue” ucap Kak Radit menjelaskan.
Aku tidak menanggapi penjelasan dari Kak
Radit.
“Jadi?” Tanya Kak Radit.
“Jadi apa?” aku balik bertanya.
“Jawaban dari SMS barusan apa? Lo
mau gak jadi pacar gue? Hm, maksudnya boleh gak gue jadi selingkuhan lo?”
akhirnya Kak Radit menanyakan hal itu secara langsung. Senang, sekaligus sedih,
kenapa harus sebagai selingkuhan? Ya, karena aku masih memiliki Bayu.
“Gue suka sama lo, Kak. Tapi gue
masih punya Bayu. Gimana juga dengan Kak Meta? Gue gak mau ada keributan dengan
siapapun itu, Kak” jawabku.
“Okelah, kalau begitu kita
lanjutkan saja hubungan ini sebagai kakak-adik. Lo juga masih sama Bayu, kan?
Gue gak mau jadi orang ketiga. Kalau kakak-adik gak bisa disebut selingkuh
kan?” ucap nya.
“Iya sih…” balasku.
“Gue pulang, ya?” Kak Radit
beranjak dari sofa dan mengambil tasnya. “Salam buat Nenek lo”.
“Tapi masih hujan, Kak…” balasku
memelas, aku kecewa dia memutuskan untuk pulang disaat situasi seperti ini.
“Biarin. Udah sore juga. Gue ada
rain coat kok di jok motor. Lagian hujan kaya gini pasti bakalan awet sampe besok.”cowok
itu mulai melangkah menuju pintu, dan membukanya.
“Yaudah deh, hati-hati ya, Kak”
ucapku pelan.
“Jangan nyesel ya, Nes! Hahaha”
balasnya. Aku kesal, lagi-lagi dia sempat mengejekku.
“Mungkin dari awal kita emang
harus berakhir hanya sebagai kakak dan adik, enggak lebih. Titip salam buat
Bayu, bilang sama dia, sekali-kali main ke 97! Bakdat ke 97 gak akan terasa
jauh kalau demi pacarnya. Bilang juga sama Bayu, kalo dia masih cuek, mending
pacarnya buat gue aja! Hahaha” ucapnya sambil men-starter motor.
Lambat laun sosok cowok itu
menghilang dari pandangan ku. Yang tersisa hanya aku yang masih mematung di
depan pintu. Memikirkan kembali peristiwa yang barusan terjadi. Lebih tepatnya
memikirkan setiap kata yang diucapkan Kak Radit.
“Dasar manusia bodoh!” umpatku.
==
Aku terbangun dari lamunanku.
Mengingat peristiwa dua tahun lalu itu rasanya seperti dengan sengaja
menumpahkan cairan alcohol diatas luka yang baru setengahnya mengering, dan
menyebabkan luka tersebut kembali terbuka. Bagaimana tidak? Dua tahun aku
melupakan peristiwa itu, namun selalu teringat hanya jika rintik hujan turun.
Bahkan disaat Kak Radit sudah lulus dari SMA ini, aku tetap tidak bisa
melupakan kejadian itu. Sosok aneh dan konyolnya selalu ku ingat.
Tak hanya itu, aku juga selalu
menyesalkan kandasnya hubungan ku dengan Bayu. Hubungan yang susah payah aku
bangun lebih dari satu tahun itu harus berakhir lantaran aku yang terus terusan
memikirkan Kak Radit, menyesalkan peristiwa hujan tersebut.
Belum lagi akibat Kak Meta yang
cemburu padaku, berhasil memonopoli keadaan dan membuat Kak Radit menjauhiku.
Bukan hanya Kak Radit, melainkan semua orang yang berkaitan dengannya. Hal itu
membuatku merasa tidak ada teman lagi. Karena awalnya aku hanya bermain bersama
mereka.
Kini hanya tertinggal setumpuk
penyesalan. Penyesalan yang takkan pernah terlupakan. Yang selalu teringat
kembali ketika langit mendung dan mulai meneteskan air hujan.
0 komentar:
Posting Komentar