About Me

Tuhan Selalu Memiliki Cara

Jumat, 04 Maret 2011

Karin terus membunyikan klakson mobilnya, dia kesal karena malam itu Jalan Dago, Bandung macet parah! Sementara teman-temannya sudah sampai di Saga, sebuah café.
“Cobalah sedikit bersabar, Rin! Jarak antara kita dengan Saga hanya berjarak 5 meter, sebentar lagi juga sampai!” ujar seorang cowok yang duduk disamping Karin, dia asyik menghisap rokoknya.
“Aku kurang sabar apa lagi, sih Yan! Kita sudah tertahan dijalanan selama satu jam semenjak keluar dari komplek! Ini keterlaluan! Padahal jarak kompek dengan Saga hanya berjarak 2 Km!” balas Karin, memukul stir.
“Lagian tadi aku suruh bawa motor aja, enggak mau! Udah tau malam minggu pasti macet…”.
“Sekarang gini deh, apa kamu mau bawa motor? Enggak, kan? Pasti aku yang kamu suruh bawa sampe sini! Kan males…” kata Karin.
“Ya sudah sih… Aku capek tau, baru pulang Kuliah… Males banget deh, denger ceramahan anak SMA kayak kamu…” balas Riyan.
Karin sudah mengambil ancang-ancang untuk membalas perkataan Kakaknya itu, namun kalah cepat oleh Riyan.
“Tuh, pintu masuk udah di depan mata… Cepet masuk dan cari tempat parkir yang strategis!”.
Karin hanya bisa mendengus kesal, menuruti perkataan Riyan.

Memasuki café, nampak segerombolan anak-anak muda yang memenuhi sebuah sudut ruangan. Salah satu dari mereka melambai ke arah Riyan dan Karin.
“Hey, cepat lah!” ucap salah satu dari mereka.
Riyan dan Karin pun bergegas menghampiri segerombolan anak muda itu. Mulai membalas sapaan mereka.
“Sorry ya lama… Cewek manja yang satu ini enggak mau nurut sama gue…” ucap Riyan.
“Apa-apaan!? Kamu tuh yang bisanya menindas aku!” balas Karin, masih dengan wajah cemberut.
“Hahaha, sudah lah sayang, jangan bertengkar dengan Kakak sendiri… Ayo, sini duduk…” ucap Derry, pacar Karin dan juga merupakan teman satu kampus Riyan. “Aku sudah pesan wine, nih! Khusus buat kamu…”.
Karin menanggapi pemberian Derry, satu sloki wine. “Thanks, Derry…” balas Karin dengan senyuman.
“Gila! Adik aku baru datang sudah disodori wine? Buat ku mana, Der?” tanya Riyan.
“Beli sendiri gih…” jawab Derry dengan santai.
Mereka menghabiskan malam di café itu, meminum minuman beralkohol, merokok, bercanda dan lain sebagainya. Hingga akhirnya mereka sudah merasa mabuk berat, memutuskan untuk pulang menuju rumah masing-masing.

Disamping itu, Farah dan Riva sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Tak sengaja, mereka lewat jalan yang sama dengan Riyan, Karin dan Derry. Sebenarnya, Farah dan Kak Riva berjalan dengan kecepatan ringan di jalan, namun mobil yang ditumpangi Riyan, Karin dan Derry membuat onar dan menghalangi jalan mobil Farah dan Riva.
“Astagfirullah, apa mau mereka, Kak?” tanya Farah.
“Entahlah, aku yakin mereka anak-anak yang berbau alcohol…” jawab Riva.
Riyan, Karin dan Derry turun dari mobil, menghampiri mobil Riva, dia tidak menghiraukan gerak-gerik mereka, dia lebih memilih untuk mengambil ancang-ancang untuk melesat pergi, meninggalkan mereka.
Tak sengaja, Karin tertabrak. Farah yang mengenali Karin langsung syok dan menyuruh Riva berhenti, menolong Karin. Anehnya, melihat Karin yang tergeletak bersimbah darah, Derry dan Riyan malah pergi begitu saja meninggalkannya.
“Dasar bodoh!” ucap Riva.
“Astagfirullah, Kak! Aku kenal cewek ini! Dia Karin! Teman sekelasku… Ayo kita tolong dia, Kak…” kata Farah.
“Baiklah, buka pintu mobil, kita akan membawanya ke rumah sakit terdekat!” balas Riva.
Cowok tangguh itu menggendong tubuh Karin yang penuh darah, dia benar-benar langsung menolongnya, tak perduli bahwa cewek itu adalah salah satu dari anak-anak berbau alcohol.

Satu minggu sudah Karin berada di rumah sakit. Dia koma semenjak kecelakaan tersebut. Sore itu, Riva dan Farah menjenguk Karin, kali ini mereka mengajak Theo, cowok yang dipercaya punya kekuatan batin untuk menyembuhkan seseorang.
“Apa sih mau kalian mengajakku? Sudah ku peringatkan, aku paling tidak suka melakukan hal ini… Tak mau disebut dukun!” ucapnya kesal.
“Ayolah, Kak… Tolongin teman sekelasku… Dia anak yang baik, kasihan bila terus dalam keadaan koma seperti itu…” kata Farah merayu.
“Hahaha… Anak baik-baik dari mana Farah? Aku dengar dari Riva, dia itu cewek broken home yang suka keluyuran tengah malam dan berteman dengan alcohol…”.
“Ya, memang sih… Tapi dia seperti itu semenjak orang tua nya bercerai… Ku fikir, itu lah cara dia melarikan diri dari masalah… Kita harus membantunya keluar dari semua itu, Kak… Jangan kita caci maki…”.
“Sepertinya kamu kenal sekali dengan cewek itu…” sahut Riva.
“Iya, Kak… Dia teman ku sewaktu SMP… Dulu kami berteman dekat, namun setelah kabar perceraian kedua orang tuanya, dia menjadi cewek yang tertutup dan berubah aneh… Seperti ini!” jawab Farah.
“Baik lah, aku tolong anak malang itu…” kata Theo. “Tapi ingat! Yang aku lakukan bukan berkat bantuan jin atau sebangsanya… Ini murni kekuatan dan khendak dari Allah…”.
Mereka memasuki ruang perawatan Karin. Dia masih terbaring lemah, tanpa ada tanda-tanda bahwa dia sadar, masih koma. Theo pun mulai melakukan terapi nya.
15 menit berlalu, Riva dan Farah yang terus memperhatikan gerak-gerik Theo pun langsung menanyakan perkembangan apa yang bisa dibuat oleh Theo.
“Bagaimana?” tanya Riva.
“Seperti yang kalian lihat, masih koma! Lihat saja perkembangannya besok! Insyaallah, Allah mau memberinya kesempatan untuk sadar, bertaubat dan kembali ke jalan yang benar…” jawabnya.
“Amin…”.
Jam besuk sebentar lagi akan berakhir, mereka segera keluar dari ruang perawatan yang steril tersebut. Setelah mereka menutup pintu, entah mengapa tiba-tiba kondisi Karin memburuk, tiba-tiba tubuh lemahnya mengalami kejang-kejang lalu kembali seperti semula setelah sekian menit.

Siang itu mereka kembali menjenguk Karin. Berharap ada perkembangan yang berarti dari dia. Mentari bersinar dengan cerah, Farah terus berharap dan berdoa bahwa hari ini akan ada titik cerah dari keadaan Karin.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Rin…” ucap Farah, yang semula asyik dengan lantunan ayat-ayat yasin nya.
“Aku dimana? Sejak kapan?” tanya Karin, memegangi kepalanya yang terasa pusing.
“Dirumah sakit… Sudah lebih dari seminggu kamu disini… Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah baikkan?” tanya Farah.
Karin hanya mengangguk. Dia masih merasa pusing dan lemas.
“Rin, ini Kak Riva dan Kak Theo, Kakak kelas kita…” ucap Farah.
Karin membalasnya dengan senyuman. “Pasti selama itu aku membuat kalian repot… Maaf ya, biar aku ganti semua ini… Tulis saja rekening salah satu dari kalian… Tak usah khawatir…”.
Theo tersenyum sengit. Tak percaya bahwa yang dipikirkan cewek itu adalah balas uang!
“Jangan pikirkan uang, Rin… Semua itu tak ada artinya dalam dunia…” ucap Kak Riva.

Setelah 2 minggu tidak masuk sekolah, akhirnya hari ini Karin hadir walau agak telat. Farah menyambutnya dengan senang, berbeda dengan Celine, yang menyapa Karin dengan ribuan sindiran.
“Akhirnya malaikat dari neraka itu kembali juga ke sekolah…” ucap Celine.
Karin yang malas membuat masalah di sekolah, hanya membalas perkataan itu dengan gebrakkan meja.
“Brakkk!!”.
“Makasih atas sapaan mu, penjaga pintu neraka!” balas Karin dengan senyum pahit.

Jam istirahat, Karin diseret Farah bergabung dengan Theo, Riva dan Lusi, teman-temannya Farah. Farah sangat berharap setelah sadar dari koma, Karin dapat berubah menjadi anak baik-baik.
“Hai, pasti ini yang namanya Karin…” sapa Lusi dengan ramah.
“Hm, iya…” balas Karin dengan senyum.
“Eh, Rin… Nanti malam ikut kita yuk…” sahut Farah.
“Pastinya bukan ke café remang-remang ya, Karin…” sindir Theo.
“Apa-apaan sih kamu Kak… Jangan seperti itu lah…” sahut Farah.
“Hahaha… Memangnya kemana?” tanya Karin.
“Pengajian rutin di rumahnya Kak Riva… Ikut ya…” jawab Farah.
“Riva? Siapa?” tanya Karin.
“Itu, yang di depan kamu…” jawab Farah.
Seketika wajah Karin memerah, sepertinya dia tertarik dengan Kak Riva yang memang bisa dikategorikan cowok ganteng di SMA nya.
“Rah, aku gak bisa ngaji…” ucap Karin, berbisik.
“Beli Al-Qur’an yang ada latinnya aja…” jawab Farah, juga berbisik.
“Temenin aku beli ya… Cowok yang didepanku ganteng juga ya…”.
“Emang ganteng… Apalagi temannya, Kak Theo… Hahaha…”.

Akhirnya mereka sampai di rumah Riva, ternyata rumah yang cukup besar itu sudah dipenuhi oleh peserta pengajian rutin tersebut. Karin yang baru pertama kali nya mengikuti acara semacam itu pun merasa canggung dan asing. Terlebih hanya dirinya yang berbeda dari sekian cewek yang ada dirumah itu, tidak berkerudung.
Enam bulan berlalu tanpa terasa. Lama-lama Karin merasakan perubahan aneh dalam dirinya. Dia yang semula berstatus anak dugem, kini berubah total menjadi anak alim. Karin rela tidak pulang ke rumah hanya untuk menghindari ajakan Kakaknya untuk pergi ke café atau clubbing di tengah malam. Semua perubahan itu terjadi semenjak dia sadar dari koma, dan berbaur dengan Farah, Riva dan Theo.
Disamping itu, Karin juga merasakan bahwa dirinya kini menyayangi Riva. Bukan lagi Derry yang mengajaknya bermain dengan gemerlap malam, melainkan cowok soleh yang mengenalkan dirinya kepada dunia islami yang penuh dengan kebersamaan.

Disebuah acara syukuran yang diadakan Riva atas kemenangannya merain mendali emas dalam olimpiade mata pelajaran, Karin memutuskan untuk mengutarakan perasaannya yang telah dia rasa selama berbaur dengan mereka.
“Hm, Kak… Temani aku melihat bintang yuk…” ucap Karin.
“Ayo… Dimana?” tanya Riva.
“Tuh, di dekat pohon itu…”.
Mereka menghampiri pohon, dan duduk dibawahnya.
“Kamu suka melihat bintang-bintang ya?” tanya Riva.
“Iya, Kak! Indah aja melihatnya…” jawab Karin, menatap bebas langit luas dengan bintang yang indah.
Hening…
“Kak, bolehkah aku jujur?”.
“Apa, Rin? Tentu boleh…”.
“Aku menyukai Kakak… Bolehkah aku menjadi pacarmu? Maaf bila terkesan tidak sopan, aku hanya ingin jujur…”.
Suasana kembali hening, hanya hembusan angin malam yang terasa ingin ikut berbicara.
“Maaf…”.
Nafas Karin serasa terhenti sekian detik saat mendengar kata tersebut keluar dari bibir Riva. Tak percaya! Terkejut!
“Kamu sudah ku anggap seperti adik sendiri… Aku tak mau mengotori pertalian persaudaraaan kita dengan istilah pacaran…”.
“Tapi Kak…”.
“Maaf…”. Riva pergi meninggalkan Karin sendirian di bawah pohon yang rindang itu, dia sendiri, hanya ditemani para bintang yang melihatnya dengan penuh simpati.
“JAHAT!” ucapnya penuh kesal.
Karin berlari, mendahului Kak Riva menuju mobilnya dan langsung memacunya dengan kencang. Farah dan Theo yang melihatnya langsung menegur Riva.
“Ada apa lagi dengannya?” tanya Theo.
“Dia ingin menjadi pacarku, tapi aku tak bisa… Dia sudah seperti adikku sendiri… Aku menyayanginya sebatas adik…” jawab Riva, jujur.
“Remaja labil…” ucap Theo.
“Lalu bagaimana? Dia baru saja berhasil menjadi anak baik-baik… Aku takut dia kembali kedunia nya yang dulu…” kata Farah.
“Tenang, Far… Menurut pemikiranku, besok cewek itu akan datang kepadamu, tolong beri dia nasihat…”.

Theo benar! Walau hari ini Karin tidak masuk sekolah, namun dia menyuruh Farah untuk datang kerumahnya. Dirumahnya, Karin membuka semua keluh kesahnya kepada Farah. Mulai dari titik A sampai titik Z.
“Dia tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, Rin… Aku yakin itu…” ucap Farah.
“Lantas apa?” tanya Karin.
“Hanya dia yang tau… Aku tidak punya hak untuk mencampuri masalah perasaannya… Bersabarlah… Allah menyukai orang-orang yang bersabar…” jawab Farah.

Dua minggu berlalu semenjak peristiwa itu. Memang, Karin selalu berusaha untuk bersikap biasa saja jika sedang berkumpul atau acara pengajian dirumah Riva. Namun sebenarnya banyak tanya yang berputar dalam benakknya.
Malam ini kebetulan ada acara pengjian dirumah Riva. Karin datang seperti biasa. Namun ada keanehan yang terlihat di rumah Riva. Bendera kuning nampak berkibar di depan pintu gerbangnya. Sejenak terlintas pikiran bahwa ada salah satu anggota keluarga Riva yang meninggal atau mungkin Riva sendiri. Karin berlari memasuki rumah.
“Farah!? Ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya Karin.
“Kak Riva, Rin…” jawab Farah dengan tangis yang pecah.
“Kenapa? Jawab dong!”.
“Dia sudah enggak ada… Tadi sore dia meninggal… Ternyata dia sakit…”.
Karin tak dapat berbicara apa-apa. Dirinya pun ikut syok! Tak percaya begitu cepat Riva meninggalkan mereka semua. Disaat Karin belum sempat menakhlukkan hati Riva. Allah memang selalu punya rencana untuk menguji hambanya agar menjadi manusia yang lebih baik.
Walau dengan berat hati, Karin melepas kepergian Riva. Walau dengan air mata. Dengan hati yang hancur. Dan masih dengan tanya tentang mengapa Riva menolak perasaannya.

Amplop Cokelat

Kamis, 03 Maret 2011

Sabtu sore ini aku berniat untuk melaksanakan hobi memotretku. Tujuanku kali ini adalah sebuah Taman, mereka sering menyebutnya Taman Cinta. Mungkin karena taman ini selalu didatangi oleh pasangan yang sedang memadu cinta. Tapi kalau menurutku wajar saja, taman memang identik dengan tempat kencan.
“Kamu mau kemana lagi, Naura?” tegur Mama dari balik pintu kamarnya yang agak sedikit terbuka.
“Hmm, biasa lah, Ma. Seperti tidak mengerti aktivitasku saja…” balasku dengan senyum memelas, sambil melayangkan kamera SLR Sony Alfa 200 kesayanganku.
“Oh, mau jadi tukang foto lagi…” guman Mama.
Aku menahan nafas, takut mendengar lanjutan kalimat dari bibir Mama. Biasanya, dia selalu melarangku untuk memotret.  Aku sangat berharap, kali ini aku dapat melaksanakan hobi memotretku tanpa harus berdebat terlebih dahulu dengan Mama.
“Oke, silahkan… Tapi jangan pulang larut malam…” katanya.
Senyumku mengembang. Dengan segera ku hampiri dia, mencium tangannya dan mencium pipinya. “Sip deh! Terima kasih ya, Ma!”.
Akhirnya aku sampai di tempat tujuan, Taman Cinta. Yaa, benar! Tidak sedikit pasangan yang memadu kasih di sudut sudut taman yang luas ini. Aku menuju ke sudut taman yang agak sepi. Satu per satu ku potret objek yang kurasa bagus dan menarik. Seperti taman yang luas dengan pohon-pohon yang rindang, dedaunan yang berguguran, sangat natural! Ada juga sepasang kekasih yang sedang duduk berdua di bangku taman di bawah pohon yang terlihat sangat sejuk, burung-burung yang hinggap di pohon, hingga matahari di sore hari dan langit yang kemerahan.
Tak kurasa empat jam berlalu sejak aku mulai memotret. Hasil potretanku pun sudah cukup banyak sampai akhirnya ku putuskan untuk pulang. Matahari sudah mulai bosan menampakkan cahayanya, perlahan-lahan dia pun pergi, menghilang dibalik bayangan atap-atap perumahan, dan seketika alam berubah menjadi gelap. Namun tak lagi gelap ketika sang bulan muncul dan menyinari dunia. Indah sekali! Tanpa pikir panjang, ku raih kembali kameraku dan mengadahkannya keatas sampai cahaya bulan serta keindahan alam pada malam hari terpatri dalam layar kameraku.
Sebelum pulang, aku mendapat sebuah gambar yang sangat indah dan langka! Sesosok cowok yang ku suka sedari SMP. Sayang, semenjak SMA aku tak berani bermain bersamanya lagi, lantaran dia terlalu popular untuk menjadi temanku yang cupu dan pendiam ini.

Sekolah, jam istirahat.
“Mer, look at my new picture's in nature! Cool isn’t it?” Ku tunjukkan gambar-gambar baruku kepada Mercy yang tengah duduk di kursi kantin.
“Yeee, bukannya nyapa dulu, malah langsung nunjukkin foto. Tapi, boleh juga nih dilirik…” serunya riang dengan senyuman khasnya yang paling ku suka.
Mercy mulai melihat dengat cermat hasil tangkapan gambarku kemarin sore. Mercy memang tidak bisa memotret, tapi dia tahu ilmu-ilmu dasar memotret.
“Bagus nih, Ra. Yang ini! Sini deh…” katanya setelah beberapa menit melihat-lihat hasil jepretanku. “Anglenya keren banget!” serunya.
Aku tersedak makananku saking kagetnya. Mercy yang reflex melihatku tersedak makanan langsung mengambilkan botol air minumku yang ku letakkan di sudut meja.
“Kenapa, sih? Ada yang salah dengan gambar ini? Bagus kok!”.  Mercy memandangku dengan tatapan aneh namun curiga.
“Astaga! Aku lupa menghapus foto itu! Oh my God! Jangan sampai Mercy menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut!” batinku.
“Hmm, neggak kok!” jawabku, berbohong.
Seperti bisa membaca pikiranku, Mercy sepertinya mulai menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut. Dia mengerutkan keningnya, lalu memandangku sinis.
“Ehem!? Ini Raka, kan!? Kamu motret bareng dia kemarin sore!? Kok bisa? Gimana ceritanya!?” ucap Mercy dengan suara menggelegarnya, membuat semua pasang mata di kantin menatap kami, dengan cepat, ku bekap mulut Mercy sebelum dia membuat semua makin berantakan.
“Gak usah nyebut nama, ya!” ucapku. “Iya, kemarin sore aku motret di Taman Cinta. Gak sengaja dia kepotret… Itu juga pas mau pulang. Sebelum pulang kami cuma tegur sapa sebentar, lalu yaa aku pulang kerumah lah!”.
“Payah! Kenapa gak motret malem bareng dia aja… Kesempatan langka juga!” sahut Mercy gemas.
“Sejujurnya sih aku pengen banget, Mer! Tapi aku gak mau aja nanti ada yang tau dan bikin satu sekolah heboh! Jadi, mendingan aku pulang…” balasku apa adanya.
“Hmm, aku rasa keputusan itu memang yang terbijak buat kamu…” ujarnya.

Sepulang sekolah ini, aku kembali melakukan hobi memotretku. Tujuan kali ini adalah Danau dekat rumah Oom Burhan. Segala keperluan memotret segera ku persiapkan lantaran tak ingin hari semakin sore. Baterai cadangan, tali kamera, tripod, laptop, USB, modem dan tentu saja SLR Sony Alfa 200 ku tercinta. Aku meraih handphone yang tergeletak di atas meja, ternyata ada pesan masuk.
Jantungku berdetak cepat ketika aku melihat siapa yang mengirimiku pesan tersebut.
“Raka!?” aku berteriak histeris. “Sejak kapan dia tau nomor ku? Ada apa ini? Astaga, seperti mimpi rasanya!”.
Naura, kalo ada waktu, bisa enggak kita ketemu di Taman Cinta? Ada yang mau aku omongin sama kamu. Jangan lupa ya, hari ini, jam 3!
GLEKKK!!
Aku langsung melirik jam. Astaga! Pukul 15.20! Aku ragu Raka masih menungguku di Taman Cinta. Namun mau bagaimana lagi, mau membalas SMS darinya, tapi tidak punya pulsa. Baiklah, langsung berangkat ke Taman Cinta saja, dengan harapan cowok itu masih mengungguku.
Terkejut bukan kepalang saat ku buka pintu. Raka sudah di depan pintu, dengan wajah yang agak pucat dan memegang sebuah amplop cokelat. Namun, senyum manisnya masih mengembang di wajah pasinya itu.
“Raka?” ucapku terkejut.
“Hmm, kamu tertidur ya? Hampir setengah jam aku menunggumu di Taman Cinta! Capek tau…” balasnya.
“Hehehe… Maaf ya, tadi aku sibuk menyiapkan peralatan memotret… Hmm, mau ngomong apa? Masuk dulu yuk…” Aku mengajaknya masuk.
“Enggak usah Nau, aku sudah mau pulang nih… Aku cuma mau ngasih amplop ini aja…” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop yang dipengangnya.
“Hmm… Apa ini?” tanyaku.
“Eeeeh, jangan dibuka sekarang ya… Nanti aja kalo ada waktu! Lagian kamu juga mau pergi motret kan?” katanya.
“Oh iya ya! Ya sudah, deh! Hmm, mau ikut aku motret gak?” ajakku.
“Lain kali aja ya… Maaf banget aku harus pergi…” balasnya.
“Oh” ucapku dengan wajah kecewa.
Raka melambaikan tangannya sambil melangkah menjauh dari rumah. Dia pergi, namun tak apa, aku senang dia sudah mengirimiku SMS, datang kerumah ku, dan memberiku amplop cokelat ini. Segera aku masuk kedalam rumah, meletakkan amplop itu di laci meja belajarku. Akan ku buka sepulang memotret nanti.
Aku belum keluar dari pintu gerbang halaman rumahku, namun Mercy sudah menghampiriku dengan deraian air mata dan baju serba hitam. Aku terkejut, heran dan panic.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Raka……” jawabnya dengan isak tangis, Mercy memelukku.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Sabar ya Naura… Raka sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Kamu yang tabah ya…” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Raka... Dia sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Aku harap kamu bisa menjadi cewek yang tegar...” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya makin pecah.
“Hah!? Apa!?” aku syok! Tak sadar aku mendorong tubuh Mercy, melepas pelukannya.
Aku menatap dalam mata Mercy, melacak apakah dia berbohong. Sungguh ini tak dapat ku percaya! Baru sekitar 5 menit yang lalu cowok itu datang kerumahku. Memberikan amplop cokelatnya! Lalu? Kenapa tiba-tiba dia sudah tidak ada?
“Aku enggak berbohong Naura!” ucapnya sendu.
Aku masih tak percaya. Aku mundur, beralih menuju kamarku, meraih amplop cokelat yang diberikan Raka 5 menit yang lalu. Lalu kembali menghampiri Mercy.
“Kamu lihat amplop ini!? Ini pemberian Raka! Lima menit yang lalu!? Aku masih berbicara dengannya! Masih sempat melihat senyumannya! Lima menit yang lalu, Mer! Sangat singkat!” ucapku. Benar-benar tidak bisa mempercayai ucapan Mercy.
“Enggak mungkin! Ayo ikut aku!” Mercy menarik tanganku. Mengajakku kerumah Raka yang emang hanya berbeda satu blok dari rumahku.
Nampak bendera kuning berkibar di depan gerbang rumah Raka. Mataku membesar, nafasku terasa sesak, seketika badanku menjadi lemas saat membaca sebuah nama yang tertulis di bendera kuning itu. Nama Raka. Aku berlari memasuki rumahnya, tak perduli akan semua tatapan dari sekian pelayat yang datang.
Tangis ku pecah saat ku lihat bahwa yang terbujur kaku terbalut kain putih itu adalah Raka. Wajahnya sangat pucat, dia sudah tak bernafas lagi. Aku tersimpuh di atas tubuhnya yang kaku.
“Sabar ya Naura… Kamu harus mengikhlaskan kepergiannya… Ini memang mendadak, kita semua pun kaget…” ucap Mercy, dia mendekapku, membuatku merasa tidak sendirian memikul keterpurukan ini.
“Kapan dia pergi? Aku yakin yang menemuiku itu Raka!” balasku.
“Dia pergi tepat setelah dia sampai dirumah… Satu jam yang lalu… Itu yang dikatakan Ayahnya! Selama ini Raka merahasiakan penyakitnya dari kita semua… Yang menemuimu itu bukan Raka… Hanya ilusimu!” kata Mercy.
“Ada buktinya, Mer! Surat ini!” ucapku tak mau kalah.
“Seterah deh! Sudah lah, kita jangan bertengkar di depan Raka… Kasihan dia, kita harus membiarkan dia beristirahat dengan tenang…” balas Mercy.

Seminggu setelah kepergian Raka. Aku pergi menuju Taman Cinta. Tempat kita berjanji untuk bertemu sebelum dia pergi. Amplop cokelat pemberiannya masih belum ku buka. Rasanya baru hari ini aku siap mental untuk membukanya. Amplop itu berisi sebuah surat.

Dear Naura,
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk mengenalmu, izinkan aku untuk mengenalmu lebih jauh!
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk melihatmu, izinkan aku untuk terus memperhatikanmu…
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk bersamamu, adakah kau bersedia memelukku didekapmu?
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk menjagamu, izinkan aku untuk terus berada disampingmu.
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk hidup di dunia, izinkan aku mengucap kalimat terakhirku untukmu…
Aku mencintaimu, Naura…
Salam Sayang,
Raka.

Aku mendekap surat itu dengan deraian air mata. Selain surat, aku juga mendapat beberapa foto hasil jepretan Raka yang tidak ku sadari. Foto-foto itu adalah foto-foto diriku. Terselip juga foto ketika SMP, disaat kami masih sering memotret bersama.
Hari yang senja di Taman Cinta, ku habiskan mengenang dirimu yang kini telah tersenyum abadi diatas sana.