About Me

Mencintai Sahabat Sendiri

Jumat, 10 Juni 2011
Prita terus membolak-balik buku LKS Fisikanya. Semua angka dan rumus-rumus yang tertera dalam lembar kerja tersebut nampak sangat tidak beraturan dan malah terkesan mengejeknya yang tengah bingung dengan apa yang ada dalam perasaannya.
Beberapa minggu belakangan ini, konsentrasinya akan angka-angka yang selama beberapa bulan terakhir menjadi makanan sehari-harinya mulai terganggu akibat bayangan wajah seseorang yang tak henti-hentinya muncul diantara angka dan rumus dalam lembar Fisika.
Tawa lepas yang menjadi cirri khas cowok itu seakan terus terdengar ketika Prita berusaha mengumpulkan konsentrasi otaknya memecahkan soal Fisika yang dia sukai. Alunan suara lembut cowok itu pun mampu menggeser rumus perhitungan kalor. Apa lagi tingkah misteriusnya yang mampu menendang rasa penasaran Prita akan jawaban soal-soal cerita yang rumit.
Cowok itu seperti ada dimana-mana. Disaat Prita berusaha menendang bayangan cowok itu, pasti bayangan itu pindah di arah yang lain. Tidak menghilang! Malah berpindah dan semakin terbayang dimana-mana.
“Aaaaggrrrh!”.
Prita berteriak sendiri dan melempar LKS Fisikanya. Spontan, kakaknya langsung menghampiri Prita dikamarnya. Terheran-heran apa penyebab anak itu berteriak, mungkin ada kecoak atau cicak, dua hewan yang paling dibenci Prita.
“Kenapa sih kamu dek?” tanya Kak Fira, kakaknya Prita. “Ada kecoak ya? Apa cicak? Jangan dilempar pakai LKS, pake kulkas aja biar mati…”.
Mendengar lawakan kakak nya yang amat sangat tidak lucu, Prita malah makin galau dan bersikap makin aneh. Bahkan terkesan autis, depresi, sampai sakit gangguan jiwa akut.
Prita yang biasanya cuek dan tetap ceria apapun masalahnya, berubah menjadi pendiam dan sulit sekali tertawa. Sering berusaha menghindar bila bertemu Keyla, Reza, Bimo, Ferdi dan Fadli dengan alasan ada pembahasan soal di club Fisika nya, ada seminar Fisika atau sebagainya.
“Prita?” sapa Fadli yang suatu hari tak sengaja bertemu dengan Prita di sebuah Toko Buku.
“Eh, Fadli… Kenapa?” Prita berusaha terlihat biasa.
“Kok lo berubah sih akhir-akhir ini? Jarang ngumpul lagi…”.
“Berubah? Enggak kok, Dli! Perasaan lo doang tuh… Hahaha…” jawabnya sebisa mungkin. “Yah, maaf, kertas-kertas Fisika gue udah ngantri…”.
“Yeah, sahabat-sahabat lo juga ngantri, tau!” balas Fadli dengan jujur.
Prita mengalihkan suasana dengan sok melihat-lihat buku-buku geografi. Tindakan Prita tersebut sungguh tidak menciptakan alibi baginya. Malah menambah rasa penasaran Fadli yang sepertinya sudah mengerti gerak-gerik mencurigakan dari sahabatnya yang satu itu. Bagaimana tidak, seorang Prita dengan status siswi SMA Jakarta kelas 11 IPA 1, sangat tidak mungkin berkutik dengan buku-buku geografi.
“Hahaha… Lo bukan Prita yang gue kenal…” sahut Fadli.
Batin cewek itu tersentak, dia bisa merasakan bahwa kini darahnya mengalir deras dan wajahnya pucat pasi. Tertangkap basah oleh Fadli.
“Cerita lah sama gue… Gini-gini gue sahabat lo, loh!” ucap Fadli.
Prita masih mematung di tempat itu, cewek itu bingung, bagaimana cara menjelaskan semua kegalauannya ini kepada Fadli.
“Gue yang traktir deh kalo lo gak punya duit!” Fadli meraih tangan Prita dan menyeretnya menuju foodcenter.
Mereka memesan dua gelas ice lemon tea, dan dua porsi batagor di tempat itu. Setelah mendapat lokasi meja yang nyaman, Fadli yang sudah dipenuhi rasa penasaran mulai membuka pembicaraan.
“Ngaku deh sama gue, sebenarnya lo kenapa?” tanya Fadli.
Prita masih tetap diam, dia hanya mengaduk-aduk piring berisi batagornya.
“Lo gak bisa bohong sama gue! Gue sahabat lo, gue hafal sifat asli lo… Sekarang cerita sama gue, siapa cowok yang udah tega bikin semua rumus Fisika di otak lu hilang?” tanya Fadli sekali lagi.
“Ferdi…” jawab Prita dengan nada suara pelan.
“Hah!? Makhluk jadi-jadian itu?” Fadli nampak syok mendengar jawaban Prita. “Kok bisa, sih?”.
“Gak ngerti deh gue, Dli… Semenjak kita milih jalur masing-masing, kita kan jadi jarang ngumpul, jarang gila-gilaan, jarang jalan bareng dan sebagainya, nah semenjak itu gue jadi sering kebayang si Ferdi! Makhluk jadi-jadian yang lu bilang itu, Dli…” akhirnya Prita buka suara.
“Yeah, gak salah juga sih kalo lo suka sama Ferdi, secara walau dia kayak setan yang tiba-tiba muncul, dia itu sebenarnya baik juga penolong…”.
“Itu dia, Dli! Ferdi selalu muncul kalau gue lagi butuh bantuan! Gue lagi susah, eh tiba-tiba dia dateng… Giliran gue lagi seneng, gue cari dia, pengen berbagi kebahagiaan, eh enggak menampakkan sosoknya…”.
“Nah terus apa lo pikir dengan menghindari acara ngumpul kita, lo bisa ngelupain Ferdi?”.
“Enggak sih, Dli… Malah gue jadi makin kangen sama dia… Makin kebayang-bayang… Makanya gue jadi pusing! Tugas Fisika gue jadi gak kesentuh gara-gara mukanya dia ada di setiap halaman…”.
“Hahaha… Lebay amat!” ucap Fadli tak mampu menahan tawanya. “Lalu kenapa lo menghindar kalau udah tau akibatnya?”.
“Karena kalau gue ikut ngumpul, gue takut ketawan kalo gue suka sama Ferdi… Kan gak enak sama yang lainnya! Takut juga gue malah merusak persahabatan antara gue sama Ferdi…”.
“Kenapa lo begitu yakin?”.
“Ya, rata-rata kisahnya kan begitu, Dli! Dua orang yang semula bersahabat, kenal udah deket, udah akrab banget sampai aib-aib pempers nya udah tau, lantas tiba-tiba jadian karena saling suka, terus nantinya putus karena berantem atau apa, dan pada akhirnya sang tokoh utama akan kehilangan pacar sekaligus sahabatnya… Mereka akan musuhan dan gue gak mau lah hal itu terjadi antara gue dan Ferdi! Cukup disinetron-sinetron aja…”.
“Akh! Lo jatuh cinta makin lebay aja jadinya…” protes Fadli. “Nah sekarang gini, lo gak mau kan kisah lo nanti kayak disinetron-sinetron? Hmm, gue yakin lah itu gak terjadi! Secara si cowoknya makhluk jadi-jadian yang tiba-tiba menghilang, tiba-tiba muncul! Yang ada bukan jadi sinetron cinta remaja, malah sinetron horror kuburan!”.
“Yaa, gak gitu juga, Dli! Aaakh, intinya gue bingung menyikapi perasaan gue sendiri! Yah, lo tau lah kalo gue orangnya paling susah untuk bohong. Pasti akan langsung ketawan sama anak-anak kalau gue suka sama Ferdi…”.
“Yeah, itu emang resiko, Prit! Saran gue sih, mending lo jujur aja! Dari pada lo nyiksa diri kayak gini… Hanya sekedar saran dari sahabat lo, kok!”.
“Oke, boleh lah jadi masukan. Thanks banget ya, udah mau bantu gue…” ucap Prita dengan senyum.
“Sama-sama… Udah, lo jangan kabur-kaburan lagi… Kalo kita lagi menggila, isi daftar hadir lah…” balas Fadli. “Gue tunggu kehadiran lo kalau kita nongkrong bareng!”.
“Iya-iya…” kata Prita. “Eh gue caw duluan ya, ada pembahasan Fisika di tempat les gue!”.
“Bukan alibi kan?” tanya Fadli dengan tampang sinis.
“Bukan, kok! Santai aja… Ini beneran!” jawab Prita sambil meraih tasnya.
“Dasar anak IPA, sibuk les sana sini…”.
“Iya dong… Makanya jadi anak IPA! Hahaha… Dadaaahh…” ucap Prita sambil berlalu dari hadapan Fadli.

Fadli masih tetap duduk di tempat itu, dimana dia dan Prita mengobrol lima belas menit yang lalu. Sebenarnya Fadli masih syok dengan kenyataan bahwa Prita memendam rasa kepada Ferdi, sahabat mereka. Sangat tidak disangka-sangka cewek sepintar Prita tertarik dengan makhluk jadi-jadian macam Ferdi yang kadang tidak diketahui sudah mandi atau belum.
“Kenapa Prita harus suka sama Ferdi, sih!?” ucapnya dalam hati.
“Kenapa gak sama gue aja?”.
“Gue kurang baik sama Prita? Kurang perhatian?”.
“Akh! Kenapa juga gue harus suka sama Prita yang jelas-jelas juga sahabat gue…!”.
Fadli kesal, ternyata perasaannya terjebak diantara persahabatan mereka. Disatu sisi, Fadli cemburu dan kecewa mengapa Ferdi yang disukai Prita. Disisi lain, Fadli pun ingin Prita mendapatkan apa yang dia inginkan dan yang terbaik untuknya.