About Me

Kelas Baru... ELFSOSSIX (XI IPS 6)

Jumat, 21 Oktober 2011

Yeah, sebuah keajaiban besar gue bisa naik kelas! Mau tau kenapa? Ya karena nilai gue amburadul lah! Hahaha... Tapi yaa alhamdulillah! Nilai gue bagus bagus! Rada nyesel sih gue gak lolos di IPA tapi setelah liat kebanyakan temen-temen gue masuk IPS, jadi ada semangat! Hehehe


"ELFSOSSIX"
Kenapa "elfsossix"? Jawabannya bisa di jabarkan:
ELF itu artinya 11 dalam bahasa jerman.
SOS itu yaa artinya sosial alias IPS.
SIX itu artinya 6 dalam bahasa inggris.
Jadi kalo di artikan semua, elfsossix itu maksudnya XI IPS 6.


Akhir akhir ini kita semua pengen kaya orang-orang. Punya group kelas di FB yang namanya XI IPS 6 (ELFSOSSIX). Yang bikin gue, yang ngurus juga gue dibantu Baim. Juga account twitter yang username nya @elfsossix yang bikin juga gue, yang ngujus juga gue dibantu Baim sama Talitha.


Belum lama ini juga ada foto sekelas bareng Pak Ben, guru bahasa indonesia yang santai abis! Si Eva yang bawa kameranya. Sayang aja ada beberapa anak yang gak ikut... Itu Maya sama si Mendi (Reza). Maya gak ikut karena dia gak masuk, sakit. Kalo si Mendi, yaaa dia tukang fotonya! Makanya dirinya sendiri gak ke foto. Hehehe...
Ini Fotonya :



Semoga elfsossix jadi kelas yang solid, damai, rukun, gak kubu-kubuan dan lain lain dah... Amin! :D :D Love you elfsossix!

Mencintai Sahabat Sendiri

Jumat, 10 Juni 2011
Prita terus membolak-balik buku LKS Fisikanya. Semua angka dan rumus-rumus yang tertera dalam lembar kerja tersebut nampak sangat tidak beraturan dan malah terkesan mengejeknya yang tengah bingung dengan apa yang ada dalam perasaannya.
Beberapa minggu belakangan ini, konsentrasinya akan angka-angka yang selama beberapa bulan terakhir menjadi makanan sehari-harinya mulai terganggu akibat bayangan wajah seseorang yang tak henti-hentinya muncul diantara angka dan rumus dalam lembar Fisika.
Tawa lepas yang menjadi cirri khas cowok itu seakan terus terdengar ketika Prita berusaha mengumpulkan konsentrasi otaknya memecahkan soal Fisika yang dia sukai. Alunan suara lembut cowok itu pun mampu menggeser rumus perhitungan kalor. Apa lagi tingkah misteriusnya yang mampu menendang rasa penasaran Prita akan jawaban soal-soal cerita yang rumit.
Cowok itu seperti ada dimana-mana. Disaat Prita berusaha menendang bayangan cowok itu, pasti bayangan itu pindah di arah yang lain. Tidak menghilang! Malah berpindah dan semakin terbayang dimana-mana.
“Aaaaggrrrh!”.
Prita berteriak sendiri dan melempar LKS Fisikanya. Spontan, kakaknya langsung menghampiri Prita dikamarnya. Terheran-heran apa penyebab anak itu berteriak, mungkin ada kecoak atau cicak, dua hewan yang paling dibenci Prita.
“Kenapa sih kamu dek?” tanya Kak Fira, kakaknya Prita. “Ada kecoak ya? Apa cicak? Jangan dilempar pakai LKS, pake kulkas aja biar mati…”.
Mendengar lawakan kakak nya yang amat sangat tidak lucu, Prita malah makin galau dan bersikap makin aneh. Bahkan terkesan autis, depresi, sampai sakit gangguan jiwa akut.
Prita yang biasanya cuek dan tetap ceria apapun masalahnya, berubah menjadi pendiam dan sulit sekali tertawa. Sering berusaha menghindar bila bertemu Keyla, Reza, Bimo, Ferdi dan Fadli dengan alasan ada pembahasan soal di club Fisika nya, ada seminar Fisika atau sebagainya.
“Prita?” sapa Fadli yang suatu hari tak sengaja bertemu dengan Prita di sebuah Toko Buku.
“Eh, Fadli… Kenapa?” Prita berusaha terlihat biasa.
“Kok lo berubah sih akhir-akhir ini? Jarang ngumpul lagi…”.
“Berubah? Enggak kok, Dli! Perasaan lo doang tuh… Hahaha…” jawabnya sebisa mungkin. “Yah, maaf, kertas-kertas Fisika gue udah ngantri…”.
“Yeah, sahabat-sahabat lo juga ngantri, tau!” balas Fadli dengan jujur.
Prita mengalihkan suasana dengan sok melihat-lihat buku-buku geografi. Tindakan Prita tersebut sungguh tidak menciptakan alibi baginya. Malah menambah rasa penasaran Fadli yang sepertinya sudah mengerti gerak-gerik mencurigakan dari sahabatnya yang satu itu. Bagaimana tidak, seorang Prita dengan status siswi SMA Jakarta kelas 11 IPA 1, sangat tidak mungkin berkutik dengan buku-buku geografi.
“Hahaha… Lo bukan Prita yang gue kenal…” sahut Fadli.
Batin cewek itu tersentak, dia bisa merasakan bahwa kini darahnya mengalir deras dan wajahnya pucat pasi. Tertangkap basah oleh Fadli.
“Cerita lah sama gue… Gini-gini gue sahabat lo, loh!” ucap Fadli.
Prita masih mematung di tempat itu, cewek itu bingung, bagaimana cara menjelaskan semua kegalauannya ini kepada Fadli.
“Gue yang traktir deh kalo lo gak punya duit!” Fadli meraih tangan Prita dan menyeretnya menuju foodcenter.
Mereka memesan dua gelas ice lemon tea, dan dua porsi batagor di tempat itu. Setelah mendapat lokasi meja yang nyaman, Fadli yang sudah dipenuhi rasa penasaran mulai membuka pembicaraan.
“Ngaku deh sama gue, sebenarnya lo kenapa?” tanya Fadli.
Prita masih tetap diam, dia hanya mengaduk-aduk piring berisi batagornya.
“Lo gak bisa bohong sama gue! Gue sahabat lo, gue hafal sifat asli lo… Sekarang cerita sama gue, siapa cowok yang udah tega bikin semua rumus Fisika di otak lu hilang?” tanya Fadli sekali lagi.
“Ferdi…” jawab Prita dengan nada suara pelan.
“Hah!? Makhluk jadi-jadian itu?” Fadli nampak syok mendengar jawaban Prita. “Kok bisa, sih?”.
“Gak ngerti deh gue, Dli… Semenjak kita milih jalur masing-masing, kita kan jadi jarang ngumpul, jarang gila-gilaan, jarang jalan bareng dan sebagainya, nah semenjak itu gue jadi sering kebayang si Ferdi! Makhluk jadi-jadian yang lu bilang itu, Dli…” akhirnya Prita buka suara.
“Yeah, gak salah juga sih kalo lo suka sama Ferdi, secara walau dia kayak setan yang tiba-tiba muncul, dia itu sebenarnya baik juga penolong…”.
“Itu dia, Dli! Ferdi selalu muncul kalau gue lagi butuh bantuan! Gue lagi susah, eh tiba-tiba dia dateng… Giliran gue lagi seneng, gue cari dia, pengen berbagi kebahagiaan, eh enggak menampakkan sosoknya…”.
“Nah terus apa lo pikir dengan menghindari acara ngumpul kita, lo bisa ngelupain Ferdi?”.
“Enggak sih, Dli… Malah gue jadi makin kangen sama dia… Makin kebayang-bayang… Makanya gue jadi pusing! Tugas Fisika gue jadi gak kesentuh gara-gara mukanya dia ada di setiap halaman…”.
“Hahaha… Lebay amat!” ucap Fadli tak mampu menahan tawanya. “Lalu kenapa lo menghindar kalau udah tau akibatnya?”.
“Karena kalau gue ikut ngumpul, gue takut ketawan kalo gue suka sama Ferdi… Kan gak enak sama yang lainnya! Takut juga gue malah merusak persahabatan antara gue sama Ferdi…”.
“Kenapa lo begitu yakin?”.
“Ya, rata-rata kisahnya kan begitu, Dli! Dua orang yang semula bersahabat, kenal udah deket, udah akrab banget sampai aib-aib pempers nya udah tau, lantas tiba-tiba jadian karena saling suka, terus nantinya putus karena berantem atau apa, dan pada akhirnya sang tokoh utama akan kehilangan pacar sekaligus sahabatnya… Mereka akan musuhan dan gue gak mau lah hal itu terjadi antara gue dan Ferdi! Cukup disinetron-sinetron aja…”.
“Akh! Lo jatuh cinta makin lebay aja jadinya…” protes Fadli. “Nah sekarang gini, lo gak mau kan kisah lo nanti kayak disinetron-sinetron? Hmm, gue yakin lah itu gak terjadi! Secara si cowoknya makhluk jadi-jadian yang tiba-tiba menghilang, tiba-tiba muncul! Yang ada bukan jadi sinetron cinta remaja, malah sinetron horror kuburan!”.
“Yaa, gak gitu juga, Dli! Aaakh, intinya gue bingung menyikapi perasaan gue sendiri! Yah, lo tau lah kalo gue orangnya paling susah untuk bohong. Pasti akan langsung ketawan sama anak-anak kalau gue suka sama Ferdi…”.
“Yeah, itu emang resiko, Prit! Saran gue sih, mending lo jujur aja! Dari pada lo nyiksa diri kayak gini… Hanya sekedar saran dari sahabat lo, kok!”.
“Oke, boleh lah jadi masukan. Thanks banget ya, udah mau bantu gue…” ucap Prita dengan senyum.
“Sama-sama… Udah, lo jangan kabur-kaburan lagi… Kalo kita lagi menggila, isi daftar hadir lah…” balas Fadli. “Gue tunggu kehadiran lo kalau kita nongkrong bareng!”.
“Iya-iya…” kata Prita. “Eh gue caw duluan ya, ada pembahasan Fisika di tempat les gue!”.
“Bukan alibi kan?” tanya Fadli dengan tampang sinis.
“Bukan, kok! Santai aja… Ini beneran!” jawab Prita sambil meraih tasnya.
“Dasar anak IPA, sibuk les sana sini…”.
“Iya dong… Makanya jadi anak IPA! Hahaha… Dadaaahh…” ucap Prita sambil berlalu dari hadapan Fadli.

Fadli masih tetap duduk di tempat itu, dimana dia dan Prita mengobrol lima belas menit yang lalu. Sebenarnya Fadli masih syok dengan kenyataan bahwa Prita memendam rasa kepada Ferdi, sahabat mereka. Sangat tidak disangka-sangka cewek sepintar Prita tertarik dengan makhluk jadi-jadian macam Ferdi yang kadang tidak diketahui sudah mandi atau belum.
“Kenapa Prita harus suka sama Ferdi, sih!?” ucapnya dalam hati.
“Kenapa gak sama gue aja?”.
“Gue kurang baik sama Prita? Kurang perhatian?”.
“Akh! Kenapa juga gue harus suka sama Prita yang jelas-jelas juga sahabat gue…!”.
Fadli kesal, ternyata perasaannya terjebak diantara persahabatan mereka. Disatu sisi, Fadli cemburu dan kecewa mengapa Ferdi yang disukai Prita. Disisi lain, Fadli pun ingin Prita mendapatkan apa yang dia inginkan dan yang terbaik untuknya.

Your Feeling

Senin, 16 Mei 2011
Langit yang gelap nampak indah dihiasi oleh cahaya bintang-bintang dan rembulan yang tersenyum terang. Malam ini semakin indah dengan pemandangan lampu-lampu gedung yang bercahaya dengan berbagai macam warna. Malam ini Reza berniat mengungkapkan seluruh perasaannya kepada cewek yang dia sukai, sahabatnya sendiri, Liana. Kini cowok pemalu itu tengah duduk berdua di tepi kolam di taman Mahakam.
“Hmm, Li, gue beli teh anget di warung itu dulu ya… Lu jangan kemana-mana! Gue cuma sebentar kok!” ucap Reza.
“Iya… Eh, gue nitip cemilan yang ada disitu ya… Pengen nge-gares nih!” balas Liana.
“Iya-iya…”.
Tak lama kemudian, cowok itu kembali dengan membawa dua gelas teh manis hangat dengan semangkuk kacang rebus.
“Nih, gue cuma nemu kacang rebus!” ucap Reza.
“Gak apa-apa deh, yang penting ada garesan…” balas Liana. “Hmm, ngomong-ngomong ada apa nih lu ngajak gue ke sini?”.
Tiba-tiba wajah Reza memerah. Dia terdiam. Malu untuk mengutarakan maksudnya.
“Heiii, jawab laah… Jangan diam saja!”.
“Hmm, gue bingung gimana ngomongnya!”.
“Ada apa sih? Ada cewek yang lo suka? Cerita lah ke gue!”.
Reza kembali terdiam dengan wajah yang kian memerah.
“Za? Cerita dong!”.
“Hmm, iya, Li! Gue suka sama seseorang…”.
“Tuh kan bener tebakan gue! Hayooo siapa cewek itu?”.
“Hmmm…” Reza masih belum berani menyebutkan nama cewek yang di maksud itu.
Liana menatap wajah Reza, masih bertanya siapa nama cewek yang berhasil mengusik ketenangan hati cowok pendiam dan tertutup itu.
“Tapi gue takut! Takut cewek itu benci sama gue kalo dia tau bahwa selama ini dia memiliki pengagum rahasia…” akhirnya Reza mampu berucap.
“Hmm, tenang aja! Perasaan cewek itu ber-variasi, Za! Juga tergantung gimana cara lu menyampaikannya, bagaimana bahasanya, situasinya… Yaaa, lu harus pintar kalo enggak mau kehilangan cewek itu!” ucap Liana menyemangati, tanpa dia sadari bahwa dia lah cewek yang di maksud.
“Menurut lo demikian? Tapi entah kenapa feeling gue tidak berkata demikian. Cewek yang satu itu adalah cewek yang manis, periang namun sensitive dalam hal perasaan, gue takut salah kata sama cewek itu!”.
“Hmm, sebuah kenyataan tidak akan terlihat jika lu tidak mencoba untuk mengintipnya! Cobalah lu tegur cewek itu, beri dia sedikit sinyal bahwa lu menyayanginya, ingin mengenalnya dan ingin menjaganya. Allah pun sangat menganjurkan setiap hambanya untuk saling mengenal! Ingat! Tak kenal, maka tak sayang! Semangat ya!”.
Kata kata Liana barusan semakin membuat Reza bingung. Ingin sekali dia mengutarakan bahwa cewek yang dimaksud itu adalah Liana! Orang yang sedang menasihatinya itu!
“Boleh gue tau siapa cewek itu?” tanya Liana, memecahkan lamunan Reza.
“Eh? Hmm, cewek itu adalah cewek soleha yang baik hati dan bijaksana. Dia cewek istimewa yang sangat penyabar dan penyayang…” jawab Reza, berusaha sejujur mungkin.
“Subhanallah! Beruntung banget lo bisa ketemu cewek soleha seperti dia…” Liana merespons dengan baik.
“Satu hal lagi yang membuat gue bingung…”.
“Kenapa lagi?”.
“Lo kan tau gue bukan cowok yang soleh, gue merasa enggak pantes aja mendekati cewek seperti dia, gue malu!”.
“Kenapa musti malu? Itu seharusnya menjadi sumber motivasi lu supaya menjadi hamba Allah yang lebih taat!”.
“Gue suka sama lu, Li!” ucap Reza pelan, suaranya samar-samar berbaur dengan desingan angin yang berhembus.
“Hah!?” sepertinya Liana tetap mendengar ucapan itu.
“Maaf…” ucap Reza yang salah tingkah.
“Sudah gue duga!”.
Ucapan Liana barusan membuat jantung Reza berdetak lebih cepat, sangat cepat. Dia takut Liana akan merubah sikapnya menjadi seperti apa yang dibayangkannya. Menjauhinya!
“Za? Gue gak lu ungkapin juga sebenarnya gue tau, cewek itu gue! Gue cuma pengen tau aja, apa lo berani untuk jujur sama gue. Ternyata berani! Gue salut sama lu!”.
Reza tersenyum lebar, kini dia dapat bernafas lega.
“Tapi maaf, gue belum siap untuk merubah status kita dari sebuah persahabatan, menjadi sebuah hubungan yang lebih dekat!”.
“Kenapa?”.
“Entah lah, gue masih bingung menjawab apa!”.
Reza menarik nafas kecewa.
“Maafin gue, Za! Tapi kita masih bisa bersahabat seperti biasa kok!” kata Liana dengan senyum.
Reza tak mampu berkata apa-apa.
“Biarlah keindahan sebuah persahabatan tetap menjadi utuh. Tetap indah seperti biasanya! Jika memang kita digariskan untuk menjadi lebih dari keindahan itu, biar Allah yang menuntun kita menuju garis tersebut. Percaya dengan perasaan dan keyakinan masing-masing. Lo cowok yang baik, gue nyaman berada di dekat lo! Dan gue masih ingin merasa nyaman tanpa harus mengubah status kita! Gue paham perasaan lo!” Liana mencoba menjelaskan.
“Tapi, kenapa? Kalau emang lo mengerti perasaan gue, kenapa lo menginginkan kita untuk tetap bersahabat?”.
“Karena persahabatan itu lebih indah daripada pacaran! Allah pun tidak mengajarkan umatnya untuk pacaran…”.
“Yeah, tau deh yang mengerti agama!”.
“Semangat ya, Za! Kita jalani aja dulu! Sepasang anak manusia akan bertemu dengan tuntunan Allah. Percaya lah!”.
“Iya-iya! Gue percaya!” ucap Reza pasrah.
Reza tak menyangka. Kejujuran perasaannya di tolak dengan cara yang amat sangat halus oleh cewek yang sangat dia kagumi. Keteguhannya terhadap agama, kesetiannya terhadap persahabatan dan kepercayaannya terhadap takdir Tuhan. Reza berjanji akan tetap menyayangi Liana, menjaga cewek manis itu.

Rasa Penasaran

Kamis, 10 Maret 2011

Seperti biasa, Kelly dengan Cerry dan Sella berjalan menuju rumah mereka masing-masing. Kebetulan, rumah mereka berdekatan dan juga dekat dengan sekolah. Dan hampir setiap hari, mereka selalu pulang sekolah bersama.  Saat melewati sebuah rumah tua di Jl. Kesemek No. 13, Kelly membuat ulah.
“Hey, dirumah itu ada sesuatu loh… Hahahaha…” ucapnya iseng.
“Apa-apaan deh… Iseng amat…” balas Sella yang memang tak suka dengan hal-hal semacam itu.
“Hahaha, takut ya...?” Kejahilan Kelly mulai beraksi.
“Hei… Sudah lah… Jangan seperti anak kecil! Malu lah dengan seragam kita, putih-abu abu! Hehehe…” kata Cerry.
“Yee dasar! Main ke rumah itu sebentar yuk… Aku penasaran nih jadinya…” balas Kelly.
“Ngapain deh? Aku sudah lapar nih… Capek juga seharian di sekolah… Pengen istiahat…” kata Sella.
“Ah, emang dasar nya aja kamu takut!” balas Kelly.
“Ada benarnya juga si Sella, aku juga lapar, Kel… Pulang aja ya…” kata Cerry.
“Hmm, yaudah deh… Kalah suara…”.

Malam harinya.
Rasa penasaran Kelly terus bergejolak dalam hati. Sepertinya memang ada sesuatu yang menuntutnya utnuk menghampiri rumah itu. Entah itu apa, dalam bentuk apa, dan bagaimana. Cewek itu terus gelisah, tak bisa tidur. Sampai akhirnya dia memutuskan menghubungi Cerry, sahabatnya.
“Cer, gak bisa tidur nih… Penasaran sama rumah itu… Kesana yuk!” ucap Kelly.
“Hah!? Gila kamu! Jam berapa ini? Serem banget…” balas Cerry dengan nada terkejut.
“Ayo lah… Cuma kamu yang bisa bantu aku… Sella yang penakut itu kan cuma bisa nyusahin aku kalo di ajak… Tolong lah…”.
“Terserah deh…”.
Akhirnya kedua cewek itu pergi ke rumah tersebut malam itu juga. Rasa penasaran Kelly tak lagi bisa ditahan. Dia berada di barisan paling depan saat menjelajahi rumah itu di malam yang dingin dan sunyi. Rumah itu penuh debu, segala perabotan ditutupi kain putih yang juga berdebu. Ruangan demi ruangan ditelusuri oleh Kelly, sampai akhirnya dia menemukan sebuah buku di sebuah kamar.
“Cer, lihat! Aku mendapatkan sebuah buku tua… Hehehe… Penasaran nih…” ucap Kelly senang.
“Ah dasar autis kamu, Kel! Baca dirumah saja lah kalau memang penasaran, sudah larut malam nih… Besok kita harus sekolah! Dan ingat! Besok ulangan Kimia! Sudah bikin contekan belum?” tanya Cerry yang sibuk menyenteri sudut-sudut kamar itu.
“Belum… Ah, nanya Sella saja… Dia kan pintar di pelajaran Kimia…”.

Berhubung malam semakin larut, mereka pulang menuju rumah. Sesampainya dirumah, Kelly yang masih terjebak dalam rasa penasarannya itu langsung membuka lembaran-lembaran buku tua tersebut. Buku itu adalah sebuah buku diary yang mungkin adalah milik penghuni rumah itu dulu.

14 Februari 1993
Valentine kali ini adalah yang terindah sepanjang tahun! Akhirnya Steve menyatakan cintanya kepadaku! Dan ini adalah hari jadi kami. Cowok keren itu memberiku sebuah boneka teddy bear dan sekotak cokelat di hari kasih sayang penuh cinta ini. Tuhan, terima kasih telah membuatku menjadi cewek paling beruntung di dunia karena telah memiliki Steve.
-Liana-

“Wow! Asyik juga…” ucapnya.

1 Maret 1993
Sweet Seventeen ku terasa makin indah berkat Steve! Dia membuatku seperti princess di hari kelahiranku ini. Kami menghabiskan waktu selama satu hari penuh dirumah ku yang sepi ini… Kami bersenang-senang… Mengukir kesan menakjubkan!
-Liana-

“Iiih… Bahagia banget! Pengen deh, sweet seventeen kayak gitu juga…” ucapnya. “Eh, ada fotonya… Loh? Ini si Liana itu kan? Kok mirip gue ya? Hahahaha…”.
Kelly terus membaca isi diary itu sampai dia lelah dan akhirnya tertidur. Dalam mimpinya, dia bertemu dengan sosok dalam foto tersebut, Liana! Dengan air mata yang terurai, cewek itu menjerit memohon bantuan.

“Kelly, tolong aku! Keluarkan aku! Bantu aku! Aku ingin sama dengan mereka! Tolong aku!”
“Di bawah cahaya rembulan yang indah, tubuhmu dapat terayun-ayun sambil merasakan hembusan angin malam yang dingin dan langit yang indah penuh bintang!”.
“Hancurkan benda yang membuatmu terayun… Buang tanah-tanah yang menutupiku! Bantu aku!”.

“Hah!?” Kelly bangun dari mimpi buruknya. Badannya berkeringat. Ngeri.

Keesokan harinya, Kelly menceritakan tentang mimpinya semalam kepada Cerry dan Sella. Kedua sahabatnya itu merespons dengan ekspresi ngeri dan takut. Mereka bingung mengapa Kelly bisa bermimpi seperti itu. Apa maksud perkataan Liana dalam mimpi Kelly.
“Si Liana merasa terganggu tuh sepertinya…” ucap Sella. “Makanya jangan main ke sana!”.
“Enggak Sel! Kalau dia merasa terganggu… Dia pasti akan membentakku! Bukannya memohon pertolongan… Aku merasa harus menolongnya…” balas Kelly.
“Tolong apa? Bisa apa kita? Mengerti saja tidak!” ucap Cerry.
“Mungkin dia korban pembunuhan yang dibunuh lalu dikubur di bawah benda yang berayun itu…” kata Kelly.
“Mengerikan! Jangan bertindak bodoh lagi Kelly!” ucap Sella, menentang keras pemikiran bodoh sang sahabat.
“Kenapa? Niat ku baik! Jika dia memang korban, apa salahnya ku bantu dia mendapatkan pemakaman yang lebih layak?” tanya Kelly.
“Aku tidak mau ikut campur dalam masalah ini! Aku benci hal-hal yang berbau mistis!” ucap Sella.
Kelly menatap Cerry dengan penuh harap.
“Maaf Kel, tolong jangan tatap aku dengan tatapan seperti itu. Aku memang mungkin seorang cewek yang pemberani, namun dalam masalah ini, aku angkat tangan! Maaf…” ucap Cerry, membuat Kelly semakin kecewa.
“Well, jangan kalian pikir aku tidak bisa mengerjakannya sendiri!” balas Kelly, lalu langsung berlalu, mengilang dari pandangan kedua sahabatnya.

Bermodal kenekatan dan keyakinan bahwa dirinya benar, Kelly kembali memasuki rumah itu ketika pulang sekolah. Dia mencari tempat yang dimaksud dalam perkataan Liana dalam mimpinya. Ternyata benar ada! Sebuah ayunan di pinggir kolam.
Dengan kekuatan apa-adanya, Kelly menghancurkan ayunan tersebut, menggali tanah yang ada dibawahnya hingga dia menemukan sesosok tubuh manusia. Dia yakin itu tubuh Liana. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
“Kelly… Kamu benar-benar gila!” sahut Cerry dari kejauhan, dia bersama Sella mendekat.
“Semalam bukan sekedar mimpi… Kalian lihat…” ucap Kelly.
Sella yang penakut sudah hampir menangis karena ketakutan. Tiba-tiba langit gelap, semua berkabut, hingga Liana menampakkan dirinya.
“Terima kasih Kelly…” ucapnya. “Kamu memang manusia pemberani…”.
Sella dan Cerry memandangnya dengan takut. Mereka tak berani mendekat seperti Kelly.
“Sekarang apa mau mu?” tanya Kelly.
“Aku butuh teman! Mendekatlah… Menjadi temanku…”.
“Kelly jangan! Ku mohon berhenti menjadi orang gila!” seru Cerry.
Namun sepertinya Kelly bukan lah Kelly, dirinya tak menghiraukan perkataan sahabatnya sendiri. Wajah Kelly menjadi pucat, matanya berubah menjadi putih semua. Dia terus berjalan mendekati Liana.
“Kalian sahabat yang bodoh!” ucap Liana. “Membiarkan sahabat kalian menjadi temanku… Telah ku hisap jiwanya… Dia mati!”
Sella sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, rasa takutnya memuncak dan dia hanya bisa menangis dibelakang Cerry yang masih berusaha tegar.
“Kembalikan Kelly!” ucap Cerry.
Sesosok itu tidak merespons, dia hanya tertawa licik dan tiba-tiba menghilang seiring kabut yang memudar. Hingga semua kembali terlihat cerah. Cerry menangis saat melihat tubuh Kelly pucat dan kaku, tidak ada lagi nafas yang dihembuskannya, tak ada lagi darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Dia mati.

Tuhan Selalu Memiliki Cara

Jumat, 04 Maret 2011

Karin terus membunyikan klakson mobilnya, dia kesal karena malam itu Jalan Dago, Bandung macet parah! Sementara teman-temannya sudah sampai di Saga, sebuah café.
“Cobalah sedikit bersabar, Rin! Jarak antara kita dengan Saga hanya berjarak 5 meter, sebentar lagi juga sampai!” ujar seorang cowok yang duduk disamping Karin, dia asyik menghisap rokoknya.
“Aku kurang sabar apa lagi, sih Yan! Kita sudah tertahan dijalanan selama satu jam semenjak keluar dari komplek! Ini keterlaluan! Padahal jarak kompek dengan Saga hanya berjarak 2 Km!” balas Karin, memukul stir.
“Lagian tadi aku suruh bawa motor aja, enggak mau! Udah tau malam minggu pasti macet…”.
“Sekarang gini deh, apa kamu mau bawa motor? Enggak, kan? Pasti aku yang kamu suruh bawa sampe sini! Kan males…” kata Karin.
“Ya sudah sih… Aku capek tau, baru pulang Kuliah… Males banget deh, denger ceramahan anak SMA kayak kamu…” balas Riyan.
Karin sudah mengambil ancang-ancang untuk membalas perkataan Kakaknya itu, namun kalah cepat oleh Riyan.
“Tuh, pintu masuk udah di depan mata… Cepet masuk dan cari tempat parkir yang strategis!”.
Karin hanya bisa mendengus kesal, menuruti perkataan Riyan.

Memasuki café, nampak segerombolan anak-anak muda yang memenuhi sebuah sudut ruangan. Salah satu dari mereka melambai ke arah Riyan dan Karin.
“Hey, cepat lah!” ucap salah satu dari mereka.
Riyan dan Karin pun bergegas menghampiri segerombolan anak muda itu. Mulai membalas sapaan mereka.
“Sorry ya lama… Cewek manja yang satu ini enggak mau nurut sama gue…” ucap Riyan.
“Apa-apaan!? Kamu tuh yang bisanya menindas aku!” balas Karin, masih dengan wajah cemberut.
“Hahaha, sudah lah sayang, jangan bertengkar dengan Kakak sendiri… Ayo, sini duduk…” ucap Derry, pacar Karin dan juga merupakan teman satu kampus Riyan. “Aku sudah pesan wine, nih! Khusus buat kamu…”.
Karin menanggapi pemberian Derry, satu sloki wine. “Thanks, Derry…” balas Karin dengan senyuman.
“Gila! Adik aku baru datang sudah disodori wine? Buat ku mana, Der?” tanya Riyan.
“Beli sendiri gih…” jawab Derry dengan santai.
Mereka menghabiskan malam di café itu, meminum minuman beralkohol, merokok, bercanda dan lain sebagainya. Hingga akhirnya mereka sudah merasa mabuk berat, memutuskan untuk pulang menuju rumah masing-masing.

Disamping itu, Farah dan Riva sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Tak sengaja, mereka lewat jalan yang sama dengan Riyan, Karin dan Derry. Sebenarnya, Farah dan Kak Riva berjalan dengan kecepatan ringan di jalan, namun mobil yang ditumpangi Riyan, Karin dan Derry membuat onar dan menghalangi jalan mobil Farah dan Riva.
“Astagfirullah, apa mau mereka, Kak?” tanya Farah.
“Entahlah, aku yakin mereka anak-anak yang berbau alcohol…” jawab Riva.
Riyan, Karin dan Derry turun dari mobil, menghampiri mobil Riva, dia tidak menghiraukan gerak-gerik mereka, dia lebih memilih untuk mengambil ancang-ancang untuk melesat pergi, meninggalkan mereka.
Tak sengaja, Karin tertabrak. Farah yang mengenali Karin langsung syok dan menyuruh Riva berhenti, menolong Karin. Anehnya, melihat Karin yang tergeletak bersimbah darah, Derry dan Riyan malah pergi begitu saja meninggalkannya.
“Dasar bodoh!” ucap Riva.
“Astagfirullah, Kak! Aku kenal cewek ini! Dia Karin! Teman sekelasku… Ayo kita tolong dia, Kak…” kata Farah.
“Baiklah, buka pintu mobil, kita akan membawanya ke rumah sakit terdekat!” balas Riva.
Cowok tangguh itu menggendong tubuh Karin yang penuh darah, dia benar-benar langsung menolongnya, tak perduli bahwa cewek itu adalah salah satu dari anak-anak berbau alcohol.

Satu minggu sudah Karin berada di rumah sakit. Dia koma semenjak kecelakaan tersebut. Sore itu, Riva dan Farah menjenguk Karin, kali ini mereka mengajak Theo, cowok yang dipercaya punya kekuatan batin untuk menyembuhkan seseorang.
“Apa sih mau kalian mengajakku? Sudah ku peringatkan, aku paling tidak suka melakukan hal ini… Tak mau disebut dukun!” ucapnya kesal.
“Ayolah, Kak… Tolongin teman sekelasku… Dia anak yang baik, kasihan bila terus dalam keadaan koma seperti itu…” kata Farah merayu.
“Hahaha… Anak baik-baik dari mana Farah? Aku dengar dari Riva, dia itu cewek broken home yang suka keluyuran tengah malam dan berteman dengan alcohol…”.
“Ya, memang sih… Tapi dia seperti itu semenjak orang tua nya bercerai… Ku fikir, itu lah cara dia melarikan diri dari masalah… Kita harus membantunya keluar dari semua itu, Kak… Jangan kita caci maki…”.
“Sepertinya kamu kenal sekali dengan cewek itu…” sahut Riva.
“Iya, Kak… Dia teman ku sewaktu SMP… Dulu kami berteman dekat, namun setelah kabar perceraian kedua orang tuanya, dia menjadi cewek yang tertutup dan berubah aneh… Seperti ini!” jawab Farah.
“Baik lah, aku tolong anak malang itu…” kata Theo. “Tapi ingat! Yang aku lakukan bukan berkat bantuan jin atau sebangsanya… Ini murni kekuatan dan khendak dari Allah…”.
Mereka memasuki ruang perawatan Karin. Dia masih terbaring lemah, tanpa ada tanda-tanda bahwa dia sadar, masih koma. Theo pun mulai melakukan terapi nya.
15 menit berlalu, Riva dan Farah yang terus memperhatikan gerak-gerik Theo pun langsung menanyakan perkembangan apa yang bisa dibuat oleh Theo.
“Bagaimana?” tanya Riva.
“Seperti yang kalian lihat, masih koma! Lihat saja perkembangannya besok! Insyaallah, Allah mau memberinya kesempatan untuk sadar, bertaubat dan kembali ke jalan yang benar…” jawabnya.
“Amin…”.
Jam besuk sebentar lagi akan berakhir, mereka segera keluar dari ruang perawatan yang steril tersebut. Setelah mereka menutup pintu, entah mengapa tiba-tiba kondisi Karin memburuk, tiba-tiba tubuh lemahnya mengalami kejang-kejang lalu kembali seperti semula setelah sekian menit.

Siang itu mereka kembali menjenguk Karin. Berharap ada perkembangan yang berarti dari dia. Mentari bersinar dengan cerah, Farah terus berharap dan berdoa bahwa hari ini akan ada titik cerah dari keadaan Karin.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Rin…” ucap Farah, yang semula asyik dengan lantunan ayat-ayat yasin nya.
“Aku dimana? Sejak kapan?” tanya Karin, memegangi kepalanya yang terasa pusing.
“Dirumah sakit… Sudah lebih dari seminggu kamu disini… Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah baikkan?” tanya Farah.
Karin hanya mengangguk. Dia masih merasa pusing dan lemas.
“Rin, ini Kak Riva dan Kak Theo, Kakak kelas kita…” ucap Farah.
Karin membalasnya dengan senyuman. “Pasti selama itu aku membuat kalian repot… Maaf ya, biar aku ganti semua ini… Tulis saja rekening salah satu dari kalian… Tak usah khawatir…”.
Theo tersenyum sengit. Tak percaya bahwa yang dipikirkan cewek itu adalah balas uang!
“Jangan pikirkan uang, Rin… Semua itu tak ada artinya dalam dunia…” ucap Kak Riva.

Setelah 2 minggu tidak masuk sekolah, akhirnya hari ini Karin hadir walau agak telat. Farah menyambutnya dengan senang, berbeda dengan Celine, yang menyapa Karin dengan ribuan sindiran.
“Akhirnya malaikat dari neraka itu kembali juga ke sekolah…” ucap Celine.
Karin yang malas membuat masalah di sekolah, hanya membalas perkataan itu dengan gebrakkan meja.
“Brakkk!!”.
“Makasih atas sapaan mu, penjaga pintu neraka!” balas Karin dengan senyum pahit.

Jam istirahat, Karin diseret Farah bergabung dengan Theo, Riva dan Lusi, teman-temannya Farah. Farah sangat berharap setelah sadar dari koma, Karin dapat berubah menjadi anak baik-baik.
“Hai, pasti ini yang namanya Karin…” sapa Lusi dengan ramah.
“Hm, iya…” balas Karin dengan senyum.
“Eh, Rin… Nanti malam ikut kita yuk…” sahut Farah.
“Pastinya bukan ke café remang-remang ya, Karin…” sindir Theo.
“Apa-apaan sih kamu Kak… Jangan seperti itu lah…” sahut Farah.
“Hahaha… Memangnya kemana?” tanya Karin.
“Pengajian rutin di rumahnya Kak Riva… Ikut ya…” jawab Farah.
“Riva? Siapa?” tanya Karin.
“Itu, yang di depan kamu…” jawab Farah.
Seketika wajah Karin memerah, sepertinya dia tertarik dengan Kak Riva yang memang bisa dikategorikan cowok ganteng di SMA nya.
“Rah, aku gak bisa ngaji…” ucap Karin, berbisik.
“Beli Al-Qur’an yang ada latinnya aja…” jawab Farah, juga berbisik.
“Temenin aku beli ya… Cowok yang didepanku ganteng juga ya…”.
“Emang ganteng… Apalagi temannya, Kak Theo… Hahaha…”.

Akhirnya mereka sampai di rumah Riva, ternyata rumah yang cukup besar itu sudah dipenuhi oleh peserta pengajian rutin tersebut. Karin yang baru pertama kali nya mengikuti acara semacam itu pun merasa canggung dan asing. Terlebih hanya dirinya yang berbeda dari sekian cewek yang ada dirumah itu, tidak berkerudung.
Enam bulan berlalu tanpa terasa. Lama-lama Karin merasakan perubahan aneh dalam dirinya. Dia yang semula berstatus anak dugem, kini berubah total menjadi anak alim. Karin rela tidak pulang ke rumah hanya untuk menghindari ajakan Kakaknya untuk pergi ke café atau clubbing di tengah malam. Semua perubahan itu terjadi semenjak dia sadar dari koma, dan berbaur dengan Farah, Riva dan Theo.
Disamping itu, Karin juga merasakan bahwa dirinya kini menyayangi Riva. Bukan lagi Derry yang mengajaknya bermain dengan gemerlap malam, melainkan cowok soleh yang mengenalkan dirinya kepada dunia islami yang penuh dengan kebersamaan.

Disebuah acara syukuran yang diadakan Riva atas kemenangannya merain mendali emas dalam olimpiade mata pelajaran, Karin memutuskan untuk mengutarakan perasaannya yang telah dia rasa selama berbaur dengan mereka.
“Hm, Kak… Temani aku melihat bintang yuk…” ucap Karin.
“Ayo… Dimana?” tanya Riva.
“Tuh, di dekat pohon itu…”.
Mereka menghampiri pohon, dan duduk dibawahnya.
“Kamu suka melihat bintang-bintang ya?” tanya Riva.
“Iya, Kak! Indah aja melihatnya…” jawab Karin, menatap bebas langit luas dengan bintang yang indah.
Hening…
“Kak, bolehkah aku jujur?”.
“Apa, Rin? Tentu boleh…”.
“Aku menyukai Kakak… Bolehkah aku menjadi pacarmu? Maaf bila terkesan tidak sopan, aku hanya ingin jujur…”.
Suasana kembali hening, hanya hembusan angin malam yang terasa ingin ikut berbicara.
“Maaf…”.
Nafas Karin serasa terhenti sekian detik saat mendengar kata tersebut keluar dari bibir Riva. Tak percaya! Terkejut!
“Kamu sudah ku anggap seperti adik sendiri… Aku tak mau mengotori pertalian persaudaraaan kita dengan istilah pacaran…”.
“Tapi Kak…”.
“Maaf…”. Riva pergi meninggalkan Karin sendirian di bawah pohon yang rindang itu, dia sendiri, hanya ditemani para bintang yang melihatnya dengan penuh simpati.
“JAHAT!” ucapnya penuh kesal.
Karin berlari, mendahului Kak Riva menuju mobilnya dan langsung memacunya dengan kencang. Farah dan Theo yang melihatnya langsung menegur Riva.
“Ada apa lagi dengannya?” tanya Theo.
“Dia ingin menjadi pacarku, tapi aku tak bisa… Dia sudah seperti adikku sendiri… Aku menyayanginya sebatas adik…” jawab Riva, jujur.
“Remaja labil…” ucap Theo.
“Lalu bagaimana? Dia baru saja berhasil menjadi anak baik-baik… Aku takut dia kembali kedunia nya yang dulu…” kata Farah.
“Tenang, Far… Menurut pemikiranku, besok cewek itu akan datang kepadamu, tolong beri dia nasihat…”.

Theo benar! Walau hari ini Karin tidak masuk sekolah, namun dia menyuruh Farah untuk datang kerumahnya. Dirumahnya, Karin membuka semua keluh kesahnya kepada Farah. Mulai dari titik A sampai titik Z.
“Dia tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, Rin… Aku yakin itu…” ucap Farah.
“Lantas apa?” tanya Karin.
“Hanya dia yang tau… Aku tidak punya hak untuk mencampuri masalah perasaannya… Bersabarlah… Allah menyukai orang-orang yang bersabar…” jawab Farah.

Dua minggu berlalu semenjak peristiwa itu. Memang, Karin selalu berusaha untuk bersikap biasa saja jika sedang berkumpul atau acara pengajian dirumah Riva. Namun sebenarnya banyak tanya yang berputar dalam benakknya.
Malam ini kebetulan ada acara pengjian dirumah Riva. Karin datang seperti biasa. Namun ada keanehan yang terlihat di rumah Riva. Bendera kuning nampak berkibar di depan pintu gerbangnya. Sejenak terlintas pikiran bahwa ada salah satu anggota keluarga Riva yang meninggal atau mungkin Riva sendiri. Karin berlari memasuki rumah.
“Farah!? Ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya Karin.
“Kak Riva, Rin…” jawab Farah dengan tangis yang pecah.
“Kenapa? Jawab dong!”.
“Dia sudah enggak ada… Tadi sore dia meninggal… Ternyata dia sakit…”.
Karin tak dapat berbicara apa-apa. Dirinya pun ikut syok! Tak percaya begitu cepat Riva meninggalkan mereka semua. Disaat Karin belum sempat menakhlukkan hati Riva. Allah memang selalu punya rencana untuk menguji hambanya agar menjadi manusia yang lebih baik.
Walau dengan berat hati, Karin melepas kepergian Riva. Walau dengan air mata. Dengan hati yang hancur. Dan masih dengan tanya tentang mengapa Riva menolak perasaannya.

Amplop Cokelat

Kamis, 03 Maret 2011

Sabtu sore ini aku berniat untuk melaksanakan hobi memotretku. Tujuanku kali ini adalah sebuah Taman, mereka sering menyebutnya Taman Cinta. Mungkin karena taman ini selalu didatangi oleh pasangan yang sedang memadu cinta. Tapi kalau menurutku wajar saja, taman memang identik dengan tempat kencan.
“Kamu mau kemana lagi, Naura?” tegur Mama dari balik pintu kamarnya yang agak sedikit terbuka.
“Hmm, biasa lah, Ma. Seperti tidak mengerti aktivitasku saja…” balasku dengan senyum memelas, sambil melayangkan kamera SLR Sony Alfa 200 kesayanganku.
“Oh, mau jadi tukang foto lagi…” guman Mama.
Aku menahan nafas, takut mendengar lanjutan kalimat dari bibir Mama. Biasanya, dia selalu melarangku untuk memotret.  Aku sangat berharap, kali ini aku dapat melaksanakan hobi memotretku tanpa harus berdebat terlebih dahulu dengan Mama.
“Oke, silahkan… Tapi jangan pulang larut malam…” katanya.
Senyumku mengembang. Dengan segera ku hampiri dia, mencium tangannya dan mencium pipinya. “Sip deh! Terima kasih ya, Ma!”.
Akhirnya aku sampai di tempat tujuan, Taman Cinta. Yaa, benar! Tidak sedikit pasangan yang memadu kasih di sudut sudut taman yang luas ini. Aku menuju ke sudut taman yang agak sepi. Satu per satu ku potret objek yang kurasa bagus dan menarik. Seperti taman yang luas dengan pohon-pohon yang rindang, dedaunan yang berguguran, sangat natural! Ada juga sepasang kekasih yang sedang duduk berdua di bangku taman di bawah pohon yang terlihat sangat sejuk, burung-burung yang hinggap di pohon, hingga matahari di sore hari dan langit yang kemerahan.
Tak kurasa empat jam berlalu sejak aku mulai memotret. Hasil potretanku pun sudah cukup banyak sampai akhirnya ku putuskan untuk pulang. Matahari sudah mulai bosan menampakkan cahayanya, perlahan-lahan dia pun pergi, menghilang dibalik bayangan atap-atap perumahan, dan seketika alam berubah menjadi gelap. Namun tak lagi gelap ketika sang bulan muncul dan menyinari dunia. Indah sekali! Tanpa pikir panjang, ku raih kembali kameraku dan mengadahkannya keatas sampai cahaya bulan serta keindahan alam pada malam hari terpatri dalam layar kameraku.
Sebelum pulang, aku mendapat sebuah gambar yang sangat indah dan langka! Sesosok cowok yang ku suka sedari SMP. Sayang, semenjak SMA aku tak berani bermain bersamanya lagi, lantaran dia terlalu popular untuk menjadi temanku yang cupu dan pendiam ini.

Sekolah, jam istirahat.
“Mer, look at my new picture's in nature! Cool isn’t it?” Ku tunjukkan gambar-gambar baruku kepada Mercy yang tengah duduk di kursi kantin.
“Yeee, bukannya nyapa dulu, malah langsung nunjukkin foto. Tapi, boleh juga nih dilirik…” serunya riang dengan senyuman khasnya yang paling ku suka.
Mercy mulai melihat dengat cermat hasil tangkapan gambarku kemarin sore. Mercy memang tidak bisa memotret, tapi dia tahu ilmu-ilmu dasar memotret.
“Bagus nih, Ra. Yang ini! Sini deh…” katanya setelah beberapa menit melihat-lihat hasil jepretanku. “Anglenya keren banget!” serunya.
Aku tersedak makananku saking kagetnya. Mercy yang reflex melihatku tersedak makanan langsung mengambilkan botol air minumku yang ku letakkan di sudut meja.
“Kenapa, sih? Ada yang salah dengan gambar ini? Bagus kok!”.  Mercy memandangku dengan tatapan aneh namun curiga.
“Astaga! Aku lupa menghapus foto itu! Oh my God! Jangan sampai Mercy menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut!” batinku.
“Hmm, neggak kok!” jawabku, berbohong.
Seperti bisa membaca pikiranku, Mercy sepertinya mulai menyadari siapa yang ada di dalam foto tersebut. Dia mengerutkan keningnya, lalu memandangku sinis.
“Ehem!? Ini Raka, kan!? Kamu motret bareng dia kemarin sore!? Kok bisa? Gimana ceritanya!?” ucap Mercy dengan suara menggelegarnya, membuat semua pasang mata di kantin menatap kami, dengan cepat, ku bekap mulut Mercy sebelum dia membuat semua makin berantakan.
“Gak usah nyebut nama, ya!” ucapku. “Iya, kemarin sore aku motret di Taman Cinta. Gak sengaja dia kepotret… Itu juga pas mau pulang. Sebelum pulang kami cuma tegur sapa sebentar, lalu yaa aku pulang kerumah lah!”.
“Payah! Kenapa gak motret malem bareng dia aja… Kesempatan langka juga!” sahut Mercy gemas.
“Sejujurnya sih aku pengen banget, Mer! Tapi aku gak mau aja nanti ada yang tau dan bikin satu sekolah heboh! Jadi, mendingan aku pulang…” balasku apa adanya.
“Hmm, aku rasa keputusan itu memang yang terbijak buat kamu…” ujarnya.

Sepulang sekolah ini, aku kembali melakukan hobi memotretku. Tujuan kali ini adalah Danau dekat rumah Oom Burhan. Segala keperluan memotret segera ku persiapkan lantaran tak ingin hari semakin sore. Baterai cadangan, tali kamera, tripod, laptop, USB, modem dan tentu saja SLR Sony Alfa 200 ku tercinta. Aku meraih handphone yang tergeletak di atas meja, ternyata ada pesan masuk.
Jantungku berdetak cepat ketika aku melihat siapa yang mengirimiku pesan tersebut.
“Raka!?” aku berteriak histeris. “Sejak kapan dia tau nomor ku? Ada apa ini? Astaga, seperti mimpi rasanya!”.
Naura, kalo ada waktu, bisa enggak kita ketemu di Taman Cinta? Ada yang mau aku omongin sama kamu. Jangan lupa ya, hari ini, jam 3!
GLEKKK!!
Aku langsung melirik jam. Astaga! Pukul 15.20! Aku ragu Raka masih menungguku di Taman Cinta. Namun mau bagaimana lagi, mau membalas SMS darinya, tapi tidak punya pulsa. Baiklah, langsung berangkat ke Taman Cinta saja, dengan harapan cowok itu masih mengungguku.
Terkejut bukan kepalang saat ku buka pintu. Raka sudah di depan pintu, dengan wajah yang agak pucat dan memegang sebuah amplop cokelat. Namun, senyum manisnya masih mengembang di wajah pasinya itu.
“Raka?” ucapku terkejut.
“Hmm, kamu tertidur ya? Hampir setengah jam aku menunggumu di Taman Cinta! Capek tau…” balasnya.
“Hehehe… Maaf ya, tadi aku sibuk menyiapkan peralatan memotret… Hmm, mau ngomong apa? Masuk dulu yuk…” Aku mengajaknya masuk.
“Enggak usah Nau, aku sudah mau pulang nih… Aku cuma mau ngasih amplop ini aja…” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop yang dipengangnya.
“Hmm… Apa ini?” tanyaku.
“Eeeeh, jangan dibuka sekarang ya… Nanti aja kalo ada waktu! Lagian kamu juga mau pergi motret kan?” katanya.
“Oh iya ya! Ya sudah, deh! Hmm, mau ikut aku motret gak?” ajakku.
“Lain kali aja ya… Maaf banget aku harus pergi…” balasnya.
“Oh” ucapku dengan wajah kecewa.
Raka melambaikan tangannya sambil melangkah menjauh dari rumah. Dia pergi, namun tak apa, aku senang dia sudah mengirimiku SMS, datang kerumah ku, dan memberiku amplop cokelat ini. Segera aku masuk kedalam rumah, meletakkan amplop itu di laci meja belajarku. Akan ku buka sepulang memotret nanti.
Aku belum keluar dari pintu gerbang halaman rumahku, namun Mercy sudah menghampiriku dengan deraian air mata dan baju serba hitam. Aku terkejut, heran dan panic.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Raka……” jawabnya dengan isak tangis, Mercy memelukku.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Sabar ya Naura… Raka sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Kamu yang tabah ya…” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya.
“Raka? Kenapa dia?” tanyaku.
“Raka... Dia sudah enggak ada… Ninggalin kita semua… Aku harap kamu bisa menjadi cewek yang tegar...” jawabnya, masih memelukku dan tangisannya makin pecah.
“Hah!? Apa!?” aku syok! Tak sadar aku mendorong tubuh Mercy, melepas pelukannya.
Aku menatap dalam mata Mercy, melacak apakah dia berbohong. Sungguh ini tak dapat ku percaya! Baru sekitar 5 menit yang lalu cowok itu datang kerumahku. Memberikan amplop cokelatnya! Lalu? Kenapa tiba-tiba dia sudah tidak ada?
“Aku enggak berbohong Naura!” ucapnya sendu.
Aku masih tak percaya. Aku mundur, beralih menuju kamarku, meraih amplop cokelat yang diberikan Raka 5 menit yang lalu. Lalu kembali menghampiri Mercy.
“Kamu lihat amplop ini!? Ini pemberian Raka! Lima menit yang lalu!? Aku masih berbicara dengannya! Masih sempat melihat senyumannya! Lima menit yang lalu, Mer! Sangat singkat!” ucapku. Benar-benar tidak bisa mempercayai ucapan Mercy.
“Enggak mungkin! Ayo ikut aku!” Mercy menarik tanganku. Mengajakku kerumah Raka yang emang hanya berbeda satu blok dari rumahku.
Nampak bendera kuning berkibar di depan gerbang rumah Raka. Mataku membesar, nafasku terasa sesak, seketika badanku menjadi lemas saat membaca sebuah nama yang tertulis di bendera kuning itu. Nama Raka. Aku berlari memasuki rumahnya, tak perduli akan semua tatapan dari sekian pelayat yang datang.
Tangis ku pecah saat ku lihat bahwa yang terbujur kaku terbalut kain putih itu adalah Raka. Wajahnya sangat pucat, dia sudah tak bernafas lagi. Aku tersimpuh di atas tubuhnya yang kaku.
“Sabar ya Naura… Kamu harus mengikhlaskan kepergiannya… Ini memang mendadak, kita semua pun kaget…” ucap Mercy, dia mendekapku, membuatku merasa tidak sendirian memikul keterpurukan ini.
“Kapan dia pergi? Aku yakin yang menemuiku itu Raka!” balasku.
“Dia pergi tepat setelah dia sampai dirumah… Satu jam yang lalu… Itu yang dikatakan Ayahnya! Selama ini Raka merahasiakan penyakitnya dari kita semua… Yang menemuimu itu bukan Raka… Hanya ilusimu!” kata Mercy.
“Ada buktinya, Mer! Surat ini!” ucapku tak mau kalah.
“Seterah deh! Sudah lah, kita jangan bertengkar di depan Raka… Kasihan dia, kita harus membiarkan dia beristirahat dengan tenang…” balas Mercy.

Seminggu setelah kepergian Raka. Aku pergi menuju Taman Cinta. Tempat kita berjanji untuk bertemu sebelum dia pergi. Amplop cokelat pemberiannya masih belum ku buka. Rasanya baru hari ini aku siap mental untuk membukanya. Amplop itu berisi sebuah surat.

Dear Naura,
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk mengenalmu, izinkan aku untuk mengenalmu lebih jauh!
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk melihatmu, izinkan aku untuk terus memperhatikanmu…
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk bersamamu, adakah kau bersedia memelukku didekapmu?
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk menjagamu, izinkan aku untuk terus berada disampingmu.
Andai aku memiliki waktu 1 menit lebih lama untuk hidup di dunia, izinkan aku mengucap kalimat terakhirku untukmu…
Aku mencintaimu, Naura…
Salam Sayang,
Raka.

Aku mendekap surat itu dengan deraian air mata. Selain surat, aku juga mendapat beberapa foto hasil jepretan Raka yang tidak ku sadari. Foto-foto itu adalah foto-foto diriku. Terselip juga foto ketika SMP, disaat kami masih sering memotret bersama.
Hari yang senja di Taman Cinta, ku habiskan mengenang dirimu yang kini telah tersenyum abadi diatas sana.